06. Without Farewell

8.1K 607 7
                                    

Bangun tidur, Sena langsung mengumpat dalam hati. Keterlaluan, alarm yang sengaja ia pasang ternyata tidak berbunyi dan Sena bangun 20 menit lebih lambat dari yang ia rencanakan.

Sena harap dia tidak terlambat, namun begitu mendengar suara motor Nuha di depan, gadis itu segera mencepol rambutnya asal-asalan dan berlari secepat mungkin menyusul suaminya yang setiap hari libur sudah meninggalkan rumah pagi-pagi buta. Tepat setelah subuh.

Sudah begitu, Nuha tidak pernah pamit dan Sena sendiri juga tidak pernah melihat Nuha berangkat, kecuali hari ini. Meskipun ujung-ujungnya rasa ingin tahu Sena tetap tidak terjawab.

"Nuha! Lo mau ke mana sih, woi?!" teriak Sena, tetapi kalah cepat dengan Nuha dan motornya yang langsung meninggalkan pekarangan rumah. Alhasil Sena hanya bisa mengacak-acak rambutnya geram dan kembali masuk ke rumah, awalnya berniat menelpon Nuha, tapi ujung-ujungnya Sena hanya bisa mengelus dadanya sabar.

"Nggak pamitan, nggak sarapan, nggak bawa hp pula," Sena menatap layar ponsel Nuha yang berdering di atas bantalnya semalam. "Suami kaya gitu enaknya diapain, ya?"

Rasanya Sena ingin sekali menghakimi Nuha dan bertanya banyak hal. Sudah dan belum menikah tidak ada bedanya, Nuha masihlah seorang laki-laki yang Sena kenal dengan sifatnya yang tertutup. Dan jika dulu Sena hanya penasaran, sekarang dia bertekad ingin mengulik segala kehidupan Nuha, sekecil apapun itu.

Lihat saja nanti.

Sena tidak tahu akan melakukan kegiatan apa di akhir pekan kecuali berada di dapur dan membantu Nenek. Hitung-hitung menambah list makanan yang ia masak. Dan yang paling penting, Sena bisa mendapatkan sedikit informasi mengenai Nuha dari Nenek.

Dan saat benar-benar memberanikan diri bertanya tentang ke mana perginya Nuha, jawaban Nenek cukup untuk membuat Sena terdiam, dia terkejut.

Nenek apalagi, dia juga tak kalah terkejut begitu tahu jika ternyata Nuha tidak berpamitan dengan Sena dan pergi begitu saja, padahal Nenek sudah mengingatkan saat Nuha berpamitan dengannya.

"Jadi Nuha kerja? Ke kampung Nenek? Kerja apa? Terus kampungnya jauh nggak dari sini?" Sena makin memberondongi Nenek tua itu dengan pertanyaan-pertanyaan lain. Sena bahkan tidak menyelesaikan acara mengupas bawangnya.

"Jadi dulu sebelum meninggal, Kakek Nuha punya lahan perkebunan sama sawah di kampung, terus sama Almarhum Ayahnya Nuha diolah, ditanami banyak tanaman, ada teh, sayuran, buah, kadang juga bawang-bawangan kaya gini, sawahnya juga ditanami padi. Tiap panen, hasilnya langsung disetor ke kota-kota," Nenek mengambil jeda sebentar karena fokus menyolokkan stop kontak rice cooker-nya. "Karena Ayahnya udah nggak ada, jadi Nuha yang gantiin. Tapi karena masih sibuk sekolah, dia jarang dateng buat turun tangan ngurus kebun sama sawah. Tapi hari ini katanya ada panen, makanya Nuha pergi."

Oke, Sena sudah mengantongi jawaban setelah sekian lama berpikir tentang apa sebenarnya pekerjaan Nuha. Malahan Sena sempat menduga jika Nuha itu seorang pengangguran. Astaga, dosa Sena terasa semakin besar saja rasanya.

"Nenek kira dia udah cerita sama kamu."

Sena hanya tertawa seperti orang bodoh—memang sudah bodoh sebenarnya. "Belum, Nek," ucap Sena. "Kalo gitu Nuha itu sama aja kaya juragan-juragan gitu nggak sih, Nek?"

Kerutan pada wajah Nenek semakin tergambar jelas, dia ikut tertawa, tangannya yang ringkih mengelus kepala Sena beberapa saat. Bukan tak mungkin jika kehadiran Sena bukan hanya sebagai seorang cucu menantu, tetapi juga teman untuk Nenek tiap kali ditinggal sendirian oleh Nuha.

"Emangnya menurut kamu kaya gitu?"

Sena mengangguk. "Iya, kan biasanya kalo di kampung, juragan itu orang yang punya kebun sama lahan paling luas terus punya karyawan. Nuha punya nggak kaya gituan?"

Iqlab ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang