Sena keluar dari kamar lebih pagi daripada biasanya, belum ada sorot matahari yang terbit dari ufuk timur kecuali warna oranye keemasan yang samar-samar mulai mewarnai cakrawala saat Sena pergi ke teras belakang rumah untuk mengambil seragam sekolahnya dan Nuha yang memang belum sempat ia angkat.
Tak sampai di situ, Sena juga masih harus menyetrika serangam-seragam tersebut meskipun saat ini dirinya sedang luar biasa malas. Mata Sena terlihat suntuk, bahkan rambut basahnya yang belum sempat tersisir melengkapi penampilannya yang seperti gembel pagi-pagi begini.
Kenapa harus seperti gembel? Karena Nenek yang kebetulan bangun pagi pun terkejut melihat Sena, bahkan sampai mengucap istighfar sambil mengelus dada.
"Kamu ini lho, mbok yo disisir dulu rambutnya biar nggak ruwet kaya gitu!"
Masih pagi, dan Sena sudah mendapat omelan. Meski begitu dia hanya tersenyum nyegir dan berkata, "Maaf, Nek. Habis ini Sena sisir kok."
Belakangan ini, Sena mendadak merasa canggung jika berbicara dan berada di dekat Nenek. Pasalnya sikap Nenek terhadap Sena bukannya membaik malah semakin ketus. Terhitung setelah Sena pulang dengan Nuha karena tidak jadi pergi ke kampung malam itu, Nenek baru kali ini menegur Sena. Sebelum-sebelumnya wanita paruh baya itu terkesan lebih banyak diam bahkan menghindari Sena.
Tentu saja Sena makin dibuat bingung, kesalahan apa yang ia perbuat sampai sikap Nenek berubah seperti ini? Dan saat Sena memutuskan untuk bercerita kepada Nuha, pria itu hanya mengatakan, "Jangan dipikirin, nanti lama-lama Nenek juga luluh lagi, kok."
Masalahnya makin ke sini Sena makin merasa jika Nenek mulai membenci kehadirannya. Apalagi saat mengingat ekspresi Nenek waktu melihat Sena tidak jadi pergi ke kampung dan pulang ke rumah, seperti orang yang kecewa berat, bahkan marah.
Padahal saat Sena sampai di rumah, dia sudah tidak melihat ada tamu, yang ada hanyalah piring-piring kotor dan sisa makanan para tamu yang malam itu juga langsung ia cuci. Sena bahkan tidak melihat Kyai Zakaria itu yang mana. Harusnya Nenek tidak perlu semarah itu, kan?
Bahkan sejak saat itu, Nenek selalu sensitif terhadap Sena, seperti yang barusan kalian lihat, masalah Sena belum menyisir rambut saja sudah membuatnya tidak suka.
"Kamu ngapain pagi-pagi kaya gini udah keramas?" Sepertinya mulai hari ini Nenek akan lebih mengintimidasi Sena dengan kata-kata, bukan tatapan mata seperti hari-hari sebelumnya.
Dihadiahi pertanyaan seperti itu, Sena mencoba tersenyum senatural mungkin. "Emm ... itu, kata Nuha kalo hari Jumat sunahnya bersih-bersih diri, jadi Sena keramas deh," dalihnya. "ini nanti juga mau potong kuku."
"Keramas kan bisa siang."
"Ya--iya, tapi keramas juga bisa pagi kok, Nek. Seger banget malahan, cobain, deh." Saliva Sena terteguk kasar setelahnya. Takut Nenek akan semakin mengintimidasi dan berpikir ke arah yang iya-iya. Seperti yang sedang Sena khawatirkan.
"Nuha ... keramas juga?" tanya Nenek.
Sena yang baru saja mengangkat kaki kanannya untuk melangkah itupun kembali ia turunkan. Entah bagaimana masalah keramas saja membuatnya mereka tertekan seperti ini.
"Keramas nggak?!" ulang Nenek lebih menekan.
"Nggak tahu, Nek," jawab Sena, jemarinya diam-diam meremat kain seragam yang berada dalam pelukannya. "S-sena pergi dulu, mau nyetrika ini. Nanti takutnya kesiangan."
Pura-pura tuli saat Nenek beberapa kali memanggil namanya, Sena berlari sebisa mungkin untuk kembali masuk ke kamar. Dan tepat sebelum itu, Sena malah berpapasan dengan Nuha yang malah bergerak sebaliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iqlab ✓
General FictionCOMPLETED [1] "Lo istri gue, artinya gue punya tanggung jawab dan hak penuh atas diri lo. Kewajiban Lo yang paling penting cuma satu, nurut sama suami. " • Nuha Ali Marzuki "Siti Hawa pernah cemburu sama Nabi Adam karena dia telat pulang, padahal...