"Orang yang menderita bipolar, kondisi kejiwaannya nggak normal, Na. Ibu kadang bisa seneng banget, dan kadang juga bisa sedih banget, kaya yang lo lihat barusan. Dalam istilah kedokteran mereka nyebutnya episode mania dan episode depresif. Perubahan emosi kaya gitu jelas bahaya, bukan cuma buat Ibu, tapi juga buat orang lain."
"Sejauh mana Ibu nyakitin orang lain selain dirinya sendiri?"
"Mungkin sejauh saat gue hampir dilempar dari lantai 4 rumah sakit di umur 5 tahun waktu kena DBD, atau saat dia mandiin gue pakai air panas sampai kulit gue melepuh?"
Perkataan Nuha beberapa saat yang lalu masih melekat jelas dalam angan-angan Sena. Hal itulah yang kini membuatnya menggulung lengan panjang pakaian Nuha untuk melihat bekas luka yang pernah lelaki itu terima.
Lima belas menit sebelum magrib, mereka memutuskan untuk meninggalkan pelataran gedung rumah sakit jiwa. Sebuah pertemuan singkat dengan sosok Ibu Nuha telah menjawab rasa penasaran Sena dengan begitu telak.
Pun, gadis itu dibuat lebih sadar. Bahwasanya, Sena tidak seharusnya merasa jika dia adalah satu-satunya manusia dengan cobaan terberat sampai harus terlihat begitu menyedihkan tiap waktu, karena pada kenyataannya, Nuha yang selalu terlihat diam dan tenang ternyata memikul tanggungjawab yang lebih berat.
"Pasti sakit banget, kan?" Sena melihat bekas luka bakar yang menjalar di hampir setiap kulit Nuha. Ini baru lengan kiri saja, belum bagian lainnya. "Kok gue nggak pernah sadar sih lo punya bekas luka kaya gini?"
Pantas saja Nuha selalu lebih sering terlihat memakai baju lengan panjang. Bahkan seragam sekolah Nuha juga berlengan panjang. Awalnya Sena mengira cara berpakaian Nuha karena pria itu lulusan pondok pesantren, tapi ternyata ada alasan lain.
"Lebih baik enggak, daripada lo sadar dan akhirnya kaya gini." Entah sudah berapa kali Nuha melihat Sena yang terlihat mati-matian menahan air mata agar tidak jatuh di depannya. Nuha tahu Sena ingin menangisinya, tapi barangkali gadis itu terlalu takut.
"Gue yang sekarang nggak apa-apa, gue bukan Nuha kecil lagi. Jangan nangisin gue, okey?" bujuknya, "kita cari makan aja yuk, nanti kemaleman."
Keduanya segera beranjak usai beberapa saat sama-sama saling terduduk di lantai teras masjid. Sena dan Nuha baru saja menunaikan salat maghribnya di sana. Kebetulan letaknya tak begitu jauh dari rumah sakit.
Sena mengajak Nuha berhenti di sebuah tempat angkringan di pinggir jalan. Tidak ada yang salah dengan tempat makan mereka, karena Sena terlihat begitu menyukainya. Dan selama Sena suka, Nuha juga akan begitu.
Dua bungkus nasi kucing dengan beberapa tusuk sate-satean berhasil masuk ke lambung Sena. Harap-harap dia bisa mendengarkan lebih banyak cerita lagi dari Nuha dengan perasaan yang lebih tenang dari sebelumnya.
"Nuh, gue mau nanya lagi, dong."
"Nanya aja." Nuha akan mendengarkan dan menjawab sebisanya setelah ia selesai mengunyah sate ususnya.
"Berarti alasan lo nggak pernah jenguk Ibu sama belum siap ketemu dia karena trauma?"
Nuha mengangguk. "Itu yang pertama."
"Yang kedua?" Jika ada yang pertama, sudah tentu ada yang kedua, kan?
Nuha agak mengambil jeda sebelum menjawabnya. "Karena Ibu sendiri nggak mau ketemu gue. Dia selalu merasa bersalah dan bingung ingin nebus rasa bersalahnya itu dengan apa. Sampai akhirnya nanti, dia akan nyakitin dirinya sendiri, menghukum dirinya sendiri, karena tiap lihat gue dia akan selalu merasa gagal menjadi seorang Ibu." Nuha nampak mengalihkan pandangannya tak menentu. "Padahal kenyataannya gue yang gagal jadi seorang anak buat dia," imbuhnya lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iqlab ✓
General FictionCOMPLETED [1] "Lo istri gue, artinya gue punya tanggung jawab dan hak penuh atas diri lo. Kewajiban Lo yang paling penting cuma satu, nurut sama suami. " • Nuha Ali Marzuki "Siti Hawa pernah cemburu sama Nabi Adam karena dia telat pulang, padahal...