"Sena, Nuha, kalo mau berantem jangan di dapur!"
Untuk pertama kalinya, Nenek yang biasanya sabar dan tenang menegur dengan suara yang lebih keras daripada biasanya. Usianya sudah semakin tua dan rentan terserang darah tinggi, tapi cucu-cucunya malah memancing emosinya hari ini.
"Nek, tolongin Sena, Nek." Gadis itu bersembunyi di belakang tubuh Nenek dari Nuha yang sudah menatapnya sambil berkacak pinggang.
Nenek meletakkan pisau yang semula ia gunakan untuk mengupas mentimun. "Kalo Nuha nggak kasih izin, malam ini kamu jangan tidur sama Nenek."
Tubuh Sena rasanya langsung lemas, kenapa hari ini Nenek jadi berhenti membelanya, sih? Lihat saja Nuha yang sekarang ini menatap Sena penuh kemenangan.
"Nggak mau, orang dia nggak suka Sena deketin." Terhitung sudah tiga hari sejak saat itu, dan Sena masih mempermasalahkan tentang bagaimana perasaan Nuha sampai benar-benar tidur bersama dengan Nenek dan membiarkan pria itu tidur sendirian di dalam kamarnya.
"Siapa yang ngomong kaya gitu?" Nuha jelas membantah, Sena hanya menyimpulkan sesuatu semaunya sendiri.
"Ngaku aja kenapa sih."
"Gue nggak pernah ya ngomong kaya gitu. Buruan sini, jangan ganggu Nenek."
"Lo mau hukum gue, kan? Nyuruh hafalan lagi, kan?" Sena menggeleng kukuh.
"Iya, bakal gue suruh kalo nggak mau nurut sekarang."
"Sena," panggil Nenek. "Nurut sama suaminya, ingat, ridho seorang istri terletak pada suami. Kalo suami kamu nggak ridho kamu tidur sama Nenek, berati kamu harus tidur sama dia lagi. Lagian kalian itu kan suami istri, kebersamaannya harus dinikmati. Mumpung masih belum waktunya pisah."
"Maksud Nenek?" Sena menjauhkan tangannya yang semula bertengger pada kedua pundak Nenek.
"Maksudnya, takdir itu kan nggak ada yang ngerti. Siapa tahu salah satu dari kita pergi duluan?" Sebelum Nenek, Nuha terlebih dahulu menjawab.
Dan jawaban Nuha sukses membuat Sena maju selangkah mendekati Nuha. "L–lo jangan ngomong gitu dong. Nggak alasan lain apa?" Bisa-bisanya kematian dijadikan jawaban.
"Yaudah makanya sini." Nuha mengulurkan tangannya.
Bukannya langsung meraih tangan Nuha agar digandeng, Sena malah berpikir. Takut jika tampang kalem Nuha sekarang hanya imitasi.
"Na, nggak boleh marahan lebih dari tiga hari."
"Siapa yang marahan? Orang gue kesel sama lo."
Nenek yang mendengarnya kembali geleng-geleng kepala.
Untuk kesekian kalinya Nuha menghela napas. "Gue mau dideketin sama lo, makanya gue ajak ke kamar sekarang."
"Terus?"
"Terus apa? Ya makanya ayo."
Kok gue jadi mikir yang gimana-gimana, ya? Sena malah mengigit bibir dalamnya diam-diam. Sedangkan kemudian Nenek terasa mendorong tubuhnya dan hap, Nuha berhasil meraih pergelangan tangan Sena.
"Nenek, ih!"
"Nggak usah nyalahin Nenek, ayo."
"Nuha lo jangan macem-macem,ya?" ancam Sena sambil berusaha menyamakan langkahnya dengan Nuha.
"Nggak, paling juga cuma satu macem."
"Kenapa sih? Lo kangen tidur bareng gue? Rasanya hampa banget ya kalo bangun tidur nggak liat muka gue?" Meski kepedean, Sena benar, karena Nuha dengan enteng mengangguk setelahnya. Sena berhasil bergeming.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iqlab ✓
General FictionCOMPLETED [1] "Lo istri gue, artinya gue punya tanggung jawab dan hak penuh atas diri lo. Kewajiban Lo yang paling penting cuma satu, nurut sama suami. " • Nuha Ali Marzuki "Siti Hawa pernah cemburu sama Nabi Adam karena dia telat pulang, padahal...