Nuha menemukan Nenek berada di rumah Budhe, ucapan Kang Agus benar, Nenek datang menyusul bersama Sena. Tentu saja kenyataan ini sangat bertentangan dan di luar pemikiran Nuha. Kenapa Sena begitu keras kepala dan nekat?
Belum selesai perasaan terkejut itu hilang, Nuha kembali dibuat tak bisa berkata-kata dan berpikir jernih usai mengetahui jika Sena tidak bersama dengan Nenek. Gadis itu katanya pergi bersama dengan Lestari dan belum juga kembali sampai sekarang. Padahal sebentar lagi Maghrib datang.
Berbekal pengakuan Nenek jika Lestari membawa Sena ke sungai, Nuha berjalan cepat guna menyusul Lestari dan juga istrinya. Isi kepala Nuha rasanya sangat kacau. Dia yakin jika setelah ini hubungannya dengan Sena akan kembali tidak baik-baik saja.
"Kak Nuha!" panggilan itu membuat Nuha mempercepat langkahnya, begitupun dengan Lestari yang nampak berlari dari arah berlawanan.
"Kamu dari mana aja? Kenapa jam segini belum pulang?" Nuha berjongkok guna menyamakan tingginya dengan Lestari.
Gadis dengan rambut dikepang itu sempat meminta maaf sebelum menjawab, "Tari dari sungai sama Mbak ayu."
"Maksudnya Mbak Sena?"
"Iya, Mbak Sena, hehe..."
Nuha tersenyum tipis, kalau begitu wanita dengan kulit putih bening dan cantik yang dimaksud Kang Agus dan beberapa tetangga tadi memanglah istrinya. Dan kekhawatiran Nuha semakin menjadi-jadi sekarang.
"Terus sekarang Mbak Sena-nya mana? Kok nggak bareng kamu?" Nuha jelas bertanya-tanya, Lestari datang sendirian tanpa seorang pun di belakangnya.
"Oh, itu ... tadi Tari disuruh pulang duluan. Mbaknya bilang masih pengin di sana sendirian."
"Yaudah kalo gitu kamu pulang sekarang, ya? Kakak mau nyusul Sena dulu, takut ada apa-apa."
Setelah mendapat anggukan kecil dari Lestari, Nuha kian bergegas menuju sungai, tempat di mana Sena sedang diam sambil terduduk di atas sebuah batu sekarang.
Kaki dengan balutan rok abu-abu miliknya telah basah, Sena merendam kakinya sambil merasakan aliran air sungai yang menghantam permukaan kulitnya.
Entah untuk keberapa kalinya, Sena kembali jatuh cinta pada sebuah tempat. Dia meraih sebuah batu yang seukuran dengan genggaman tangannya, sudut bibir Sena tertarik membentuk lengkungan tipis.
"Gue terlalu semangat buat sayang sama lo sampai lupa caranya ngaca, Nuh," ucap Sena di tengah kesendirian. Tak lama kemudian, sambil melempar batunya sejauh mungkin, Sena menjerit, "Harusnya gue bisa buang rasa itu kaya gini! Harusnya gue bisa!"
Gadis yang biasanya paling tidak peduli dengan omongan orang, Sena tidak tahu kenapa hari ini dia memikirkan bahkan memasukkannya ke dalam hati. Apa karena dia terlanjur menghidupkan nama Nuha di dalam sana?
"Na!"
Sepertinya benar, Sena sampai tertawa seperti orang gila sembari memukul kepalanya. Kalian tahu? Dia baru saja mendengar suara Nuha memanggil namanya.
"Kayanya emang ada demit di kampung ini."
Nuha, lelaki yang kini berdiri di belakang Sena pun menghela napas. "Sena, ayo pulang," ajaknya.
"Lo peduli sama gue?" Tanpa membalikkan badannya, Sena akhirnya sadar jika tidak ada yang namanya halusinasi ataupun demit. Nuha benar-benar datang padanya.
"Setelah selama ini kita nikah, apa hal kaya gitu perlu lo tanyain terus?" Nuha membalikkan pertanyaan.
"Gue capek," celetuk Sena lalu mulai bangkit. "Gue capek jadi orang bodoh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Iqlab ✓
General FictionCOMPLETED [1] "Lo istri gue, artinya gue punya tanggung jawab dan hak penuh atas diri lo. Kewajiban Lo yang paling penting cuma satu, nurut sama suami. " • Nuha Ali Marzuki "Siti Hawa pernah cemburu sama Nabi Adam karena dia telat pulang, padahal...