11. Self Protection

7K 527 7
                                    

"Sena, kamu udah siap kan buat olimpiade besok lusa? Contoh-contoh soal tahun kemarin sudah saya kirim ke email kamu, udah masuk?"

Meninggalkan keramaian acara HUT SMA yang berlangsung di luar sana, Sena memang raut bingung dengan pertanyaan Bu Siti—guru fisikanya.

"Email saya, Bu?" Demi apapun Sena tidak mendapatkan pesan apa-apa dari email-nya. Tapi anggukan yakin Bu Siti membuat Sena berpikir dua kali. "Kalo boleh tahu email yang mana ya, Bu? Soalnya dari semalem saya nggak dapet email apa-apa."

"Loh, kamu ini gimana, sih?" Bersama keterkejutannya, Bu Siti membalik laptop yang semula ia hadap kepada Sena. "Inikan email kamu dari bulan-bulan kemarin, saya kirimnya ke sini."

Sebuah jawaban yang membuat Sena menepuk keningnya sendiri. "Itu email di laptop saya, boleh nggak kalo Bu Siti kirim lagi ke email saya yang baru?" Pasalnya laptop Sena tidak ia ketahui bagaimana keadaannya sekarang.

"Astaga, ya sudah nanti saya kirim lagi, mana alamat email kamu? Tulis di sini." Selembar kertas yang diberikan oleh Bu Siti, Sena menuliskan alamat email-nya di sana. Tidak ingin terlalu lama meninggalkan kemeriahan acara, Sena segera pamit undur diri dari ruang guru setelah urusannya selesai.

Hari ini ada bazar dan juga beberapa perlombaan antar kelas. Sena tidak tahu ingin melakukan apa, dia tidak mendapat bagian mengikuti lomba. Jangan heran, sejak dulu Sena memang seperti ini, suka disendirikan. Dan Sena juga tipe orang yang ibarat diajak ayo, tidak diajak ya sudah. Untuk apa repot-repot berkontribusi? Toh juga nanti ujung-ujungnya Sena tetap menjadi sasaran kontroversi. Dia kan tidak pernah dipandang benar di mata orang-orang.

Cukup lama Sena berdiri di pinggir lapangan, kebetulan ada lomba bakiak di sana, sampai seseorang mendorong bahunya cukup keras, barulah atensi Sena teralih.

"Kenapa?" Kening Sena berkerut tipis menatap Lena—teman sekelasnya.

"Kenapa, kenapa! Jagain stand bazar sana, orang-orang pada repot lah lo enak-enakan berdiri di sini."

Baiklah-baiklah, sepertinya Sena memang akan terus menjadi orang paling salah dalam konteks apapun. Sebelum ini, Sena juga berada di stand bazar kelasnya, tapi diusir karena alasan tempatnya sudah penuh dan sekarang? Dia malah disuruh kembali dan menjaga tempat itu sendirian.

"Uangnya di dalam kaleng, ini daftar harga makanannya. Jangan lupa dicatat kalo ada yang beli, jangan korupsi, awas aja lo."

"Dih, istighfar lo!" Sena bahkan belum menyentuh apapun di sini, dan amit-amit, sesusah apapun hidupnya, Sena tidak akan mungkin mau memakan sesuatu dari yang bukan haknya.

"Udah deh, jangan sok kaya ustadzah cuma gara-gara pakai kerudung. Gue mau ikutan yang lain nonton bola voli, kelas kita main, bye!" Berbalik dengan cepat, rambut Lena sampai mengibas mengenai wajah Sena. Jika saja tak kalah cepat, Sena pasti sudah menangkap helaian rambut itu dan menjambaknya sampai botak. Dengan begitu sudah pasti Lena akan ikut memakai jilbab, bukan?

"Orang aneh, ya kali pakai kerudung aja dikatain ustadzah?" Yang seperti ini, Sena enggan sekali menanggapi. Atau lebih tepatnya dia bingung, bagaimana sih cara menyadarkan mereka-mereka agar mengerti jika menutup aurat itu penting? Eh, kata Nuha wajib malahan. Sena memang bukan orang benar yang pintar urusan agama, sekarang saja dia masih sangat tertatih-tatih memperbaiki diri. Buktinya, entah sudah berapa banyak kali helaian rambut yang kerap mengintip keluar dari dalam jilbabnya.

Ciput murah, Mbak. Ya memang murah, Sena juga punya, tapi masalahnya dia selalu lupa. Tolong, jangan menyalahkan orang lupa.

Beberapa orang datang ke STAN yang Sena jaga, bak pedagang profesional Sena bisa melayani mereka dengan baik. Kecuali satu orang yang baru saja datang.

Iqlab ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang