Selamat Soreee!!!
Kudatang lagi untuk melanjutkannya hehehehe, semoga masih bersabar untuk mengikutinya... :)
Baiklah, mari kita lanjutkan....:)
Chapter 10
Byron terus menemani Ben. Pemuda malang ini masih demam. Tubuhnya panas, dan keringat terus membasahi tubuhnya. Ben terus bergerak dan melawan. Byron terus menenangkan Ben tanpa hasil, dan tetap menjaga luka-lukanya tetap kering.
BRAK !!!!
"Mana Bennie...!?? Hosh hosh hosh... Kak!!??"
Byron dikejutkan dengan suara pintu depan terbuka dan suara Alex. Ia segera keluar dari kamar Ben.
"Alex?"
"Kak... mana Bennie?" tanya Alex dengan paniknya.
"Sebelah sini, Alex..." Byron menggiring Alex ke salah satu kamar pasiennya.
"Mohon maklum. Dia kawanku, adik Ben," Byron sempat berbisik menjelaskan pelan pada perawatnya. Kedatangan Alex memang mengejutkan klinik dengan wajah merah paniknya, terlebih dengan langsung memanggil sebutan Kakak, bukan Tuan, atau Tuan Dokter seperti pasien lainnya.
Sang perawat hanya mengangguk tersenyum memaklumi.
Alex tak begitu mendengarkan, ia terlalu gugup mempersiapkan diri untuk melihat kondisi Ben. Tapi sepertinya tidak cukup kuat.
Kaki Alex lemas semua begitu melihat sosok tertelungkup di tempat tidur dengan balutan putih menutupi tubuhnya, dan ia bergerak gelisah. Seorang perawat lain sedang menenangkan Ben yang terlihat tidak sadarkan diri.
"Bennie..." Alex mendekatinya dan duduk di samping tempat tidur dengan memegang tangannya. Terkaget dengan panasnya tangan Bennie, "Kenapa dia, Kak, demam lagi...? Bukankah Tristan bilang sudah turun demamnya???"
Byron mengangguk penyesalan. "Suhu badannya naik lagi setelah Tristan pulang."
Alex menghela napas perih, dan kembali pada Ben.
"Bennie..." Alex mencoba memanggil pelan. Tapi tidak ada reaksi, Ben masih meracau lirih tak sadarkan diri.
"Kenapa dia, Kak? Apakah ada infeksi dengan lukanya?" Alex miris membayangkan luka-luka di balik balutan putih bersih itu. Dan sudah pasti Ben sangat kesakitan.
"Ada sedikit infeksi di sana. Dan sedang dipulihkan. Sepertinya lebih pada syok, hingga tubuhnya tidak kuat menanggungnya."
Alex miris perih, mendengarnya.
"Marie..., Alex..."
Alex terkesiap dengan suara memanggilnya, Bennie memanggil namanya.
"Bennie...?"
"Marie... Alex ...."
"Bennie, aku di sini, Bennie,... aku di sini." Alex langsung menggenggam erat tangan saudaranya.
"Marie... Alex..., Alex... jangan tinggalkan aku...."
"Tidak Bennie..., aku di sini..., aku tidak akan meninggalkanmu, shhss..." Alex terus menggenggam tangan Ben.
Ben masih terperangkap dalam demam tinggi dan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Alex? Di mana Alex? Marie...? Di mana Marie??
"Marie...!!?? Alex??"
Tidak ada yang menjawab. Tidak ada Alex, tidak ada Marie, ia sendirian sekarang, ia tidak memiliki siapa-siapa? Orang-orang yang dicintainya semua sudah pergi meninggalkannya. Kedua orang tua angkatnya, adiknya, Alex, saudara kembarnya. Tidak heran mereka semua meninggalkannya. Karena dirinyalah yang meninggalkan mereka terlebih dahulu, Alex... Perih penuh penyesalan Ben menangis. Ia telah meninggalkan Alex seorang diri di panti, hanya untuk memenuhi egonya merasakan memiliki keluarga. Dan kemudian ia meninggalkan Marie di panti juga, tempat yang sama ia meninggalkan Alex. Ia telah meninggalkan dua orang yang amat ia sayangi di St. Peter, dan kini mereka pun telah meninggalkannya. Ia seorang diri sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Royal Home - Sequel of The New Home (On Going)
Ficción históricaKehidupan Ben dan Alex sebagai saudara kembar berubah 80 derajat setelah keduanya terpisahkan saat kecil di sebuah Panti Asuhan Putra. Ben diadopsi oleh keluarga sederhana yang memberikannya banyak pelajaran akan arti kehidupan. Sementara Alex diad...