Chapter 6

176 45 7
                                    

Lohaa, selamat malaaaammm

Baiklah, mari kita lanjutkan :)

Enjoy and hope you like it :)

Chapter 6

Tristan dan Ben duduk terpekur di bangku sel. Untuk beberapa saat, tidak ada yang mengeluarkan suara di antara mereka. Keduanya masih kalut dan tak percaya dengan hasil keputusan pengadilan. Tapi mereka tak dapat berbuat apa-apa. Hasil akhir yang ditetapkan pun merupakan hasil banding yang dilakukan Tristan atas vonis pertama yang diberikan hakim. Vonis pertama dirasa sangat tidak masuk akal, karena itu Tristan berusaha untuk naik banding, dan hasilnya adalah keputusan terakhir yang ditetapkan Hakim. 'Brengsek itu Mayer, sama sekali tidak memberikan pilihan yang bagus dan hanya ingin menyakiti Ben,' rutuk Tristan.

Tristan melirik kliennya dengan tidak enak. Ada perasaan gagal di sana, tapi itulah hasil terakhir dan terbaik yang bisa mereka peroleh. Ben dan Alex tidak akan terpisahkan lagi, tapi juga bukan hasil akhir yang enak untuk Ben. Tristan kini memikirkan bagaimana menceritakannya pada adiknya. Ia tahu, Alex tidak akan mudah menerimanya. Ia yakin Alex tidak sekuat itu, terlebih jika menyangkut saudara kembarnya.

Tristan melirik Ben lagi yang masih tertunduk, mengendalikan emosinya, mempersiapkan apa yang akan terima besok. Sosok di sampingnya sangat berbeda dengan saat pertama kali ia temui kemarin. Dengan titipan Alex, tubuh sosok di sampingnya kini telah bersih dan harum. Wajahnya bersih setelah dicukur, dan mengenakan pakaian milik Alex. Ben sudah menjadi versi rambut pendek Alex. Mereka benar-benar sepasang anak kembar. Tristan semakin tidak enak.

"Maafkan aku, Ben, aku merasa gagal," ucap Tristan pelan penuh penyesalan.

Ben langsung mendongak, memaksakan memberi senyuman menenangkan. "Tidak apa-apa, Tuan. Itu hasil yang terbaik yang kita punya, kan?" sahutnya dengan gugup.

Tristan harus mengangguk. "Kita tidak diberikan pilihan yang bagus."

Ben mengangguk menerima, "Itu berarti, itulah yang terbaik dan aku harus menerimanya, Tuan."

Tristan menelan ludah pahit. Ia mengagumi ketegaran sosok Ben.

"Kau pernah kena cambukan sebelumnya?" tanya Tristan hati-hati.

Ben menengok, dan menggeleng lirih, membuat Tristan semakin tidak enak.

"Bagaimana dengan denda, Tuan...?" Ben langsung teringat dengan dendanya. "Saya tidak mampu membayar denda sebesar itu." Wajahnya kembali cemas.

"Masalah denda tak usah kau pikirkan, serahkan semuanya padaku." Tristan tersenyum menenangkan.

Ben terkatup. Satu lagi kebaikan yang akan diberikan Tuan muda baik hati ini.

"Terima kasih, Tuan. Akan segera saya bayar, meski harus bekerja keras bertahun-tahun, Tuan," ucap Ben dengan pasti. Ia tahu, jumlah sebesar itu, tidak akan mampu diperolehnya hanya bekerja dalam beberapa bulan saja.

Tristan harus tersenyum perih. "Itu bisa kita bahas nanti. Kau tak usah cemas, Ben."

Ben hanya mengangguk tersenyum.

Tristan menghela napas. Satu lagi yang harus ia kagumi tentang Ben.

"Kau ingin aku menceritakannya pada St. Peter?" tanya Tristan.

Ben terdiam tidak menjawab.

Tristan ikut terdiam. "Mereka perlu tahu, Ben. Akan mengagetkan mereka jika mereka tidak tahu apa yang terjadi padamu, saat kau pulang ke nanti ke sana."

Ben terkatup, lalu mengangguk menerima, "Tapi jangan ceritakan pada Marie, jangan sampai ia tahu..."

Tristan mengangguk mengerti.

The Royal Home  - Sequel of The New Home (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang