3. Ketakutan Raya

42 7 0
                                    

Sesuai janji, sore ini Raya pulang bersama sang kekasih. Ya, kapan lagi cowok itu ada waktu untuknya. Keduanya sedang menyantap batagor kuah favorit mereka di Alun-alun kota.
Kalau kata Malik, lebih seru nongkrong di tengah kota seperti ini, karena bisa melihat aktivitas setiap orang dari berbagai kalangan, ada anak muda yang berdiskusi, mengembangkan seni, ada juga penjual yang berseri karena banyak pelanggan, ada orang tua yang membawa anaknya bermain. Dan anak-anak yang tertawa lepas tanpa beban. Memang, jiwa sosial Malik ini tinggi, Raya bahkan sampai menyesuaikan diri karena dirinya yang termasuk golongan introvert yang kurang suka keramaian.

"Oh iya, Kak Alik, aku pergi kongres himpunan di Bali."

"Oh ya? Sama siapa?"

"Kahim. Harusnya bukan aku, cuma anak-anak lain lagi garap dua proker besar, jadi mau gak mau aku ngalah."

"Oh, Regan, aku percaya kok dia bisa jagain kamu di sana. Berapa hari emang?"

"Kurang lebih seminggu, sih, kayaknya."

"Fieldtripnya bisa sekalian liburan tuh. Udah izin sama Mama?"

"Paling pantai, di sini juga ada Pangandaran. Belum, ntar aku telpon."

"Beda lah, sayang. Di Bali nanti kamu bisa rasain budayanya juga yang masih kental. Setiap jalan, pantai, dan makanan selalu ada cerita budaya di dalamnya."

"Kamu pernah ke Bali?"

"Pernah waktu Maba, diajakin senior. Ntar kamu pulang dari Bali aku ajakin sharing, apa aja yang kamu dapetin di sana."

Ya beginilah Malik. Yang kental akan jiwa sosial dan pemikiran-pemikiran uniknya. Kalau kata Malik, daripada posting pamer di sosial media, mending nikmati budaya yang asing bagi kita. Nikmati momennya, foto bisa hilang, tapi moment selalu terkenang dalam memori kita. Ya bukan juga tidak posting sama sekali, ia tetap posting namun dengan menunjukkan momen yang lebih memperkenalkan budaya kearifan lokal.

"Habis ini kita pulang gapapa kan?" Tanya Malik.

"Kenapa emang?"

"Aku ada yang diurus beberapa. Besok konsolidasi, hari Kamis ada aksi."

Raya mengangguk paham. Ya mau gimana lagi, ia tidak bisa menahan Malik untuk terus dengannya. Bahkan waktunya untuk organisasi lebih banyak daripada untuknya. "Aku ikut aksi boleh?"

Malik menepuk lembut kepala Raya, ia tersenyum sebelum melontarkan kalimat yang mungkin Raya akan kecewa. "Gak usah ya, sayang. Aku koordinator aksi kali ini, ga bisa jagain kamu kalau ada apa-apa."

"Aku bisa jaga diri, Kak."

"Aku tau, tapi aku gak bisa mastiin kondisi disana nanti bakalan baik-baik aja. Aku sebenernya gak mau ngasih tau kamu sesuatu tapi takut kamu khawatir."

"Tentang?"

"Belakangan ini aku diincer intel. Aku ga bisa pastiin motif jelasnya apa. Yang pasti berkaitan dengan aksi nanti."

Mata Raya membulat sempurna. Bagaimana ia tidak terkejut kalau kekasihnya jadi incaran.

"Kak–"

Melihat Raya yang cemas, Malik hanya terkekeh. "Tuh kan, makanya aku gamau kasih tau kamu. Aku gak mau kamu khawatir, trus jadi pikiran."

"Tapi Kak, kamu diincer loh? Bukan sama orang sembarangan?"

"Iya tau, aman kok, kamu tenang aja."

"Janji sama aku, kamu bakalan baik-baik aja?"

"Siap. Apapun perintah Ibu Negara." Sahut Malik.

"Aku serius, Malik."

"Ouww kalo udah manggil nama gini agak serem ya."

"Kak, ishh."

"Haha iya, Raya. Aku janji bakalan baik-baik aja. Udah yuk pulang."

***
Raya sudah menduga sebelumnya, malam ini pasti hujan turun deras. Tapi ia tidak menduga hujan kali ini disertai badai angin dan petir, tentu saja memicu pemadaman listrik.

Jam sembilan malam, Regan belum juga pulang, batrai handphonenya hanya tersisa dua persen. Ia jongkok tak beranjak dari meja pantry. Raya phobia gelap, dan ia sangat takut suara petir. Seperti saat ini, ia hanya bisa menangis dengan tubuh yang bergetar hebat. Berharap seseorang menolongnya. Biasanya jika phobianya kambuh, ia punya Mbak Laras, atau asisten rumah tangganya yang setia menemani sampai Raya tenang. Kali ini Raya harus meminta tolong pada siapa? Menelpon Ibunya tidak mungkin, itu hanya memicu kecurigaan, Menelpon Regan ia takut cowok itu sedang bersama Sersha. Lagipula, ia mematikan data seluler untuk menghemet batrai. Setidaknya bertahan selama tiga puluh menit kedepan.

Tak lama ada suara tombol password yang ditekan dari arah pintu. Raya semakin ketakutan, berharap itu benar-benar Regan, bukan orang asing. Pintu dibuka, Raya memejamkan matanya sembari menutup kedua telinganya. Ia sangat takut, tidak ingin mendengar apapun untuk saat ini.

"Ray?"

"Raya?"

Itu Regan, Raya sedikit tenang, namun badannya sangat kaku, kondisinya sangat tidak baik-baik saja, bicara saja dia tidak mampu. Tidak mendengar sahutan, dengan penerangan handphone, Regan mencari Raya ke kamar gadis itu. Namun pada saat ingin mengetuk ia mendengar suara isak tangis dari arah dapur. Regan panik, buru-buru ia mencari keberadaan Istrinya.

"Raya lo dimana?"

"Raya?!" Serunya terkejut melihat Raya yang terduduk lemas di bawah meja.

Melihat kondisi Raya yang sangat memprihatinkan, Regan merengkuh tubuh gadis itu ke dalam dekapannya. Raya merespon pelukan Regan dengan isak tangis yang menjadi-jadi.

"Ray? Lo tenang dulu, oke? Gue di sini."

Tidak ada respon dari Raya selain isak tangis, Regan membiarkan gadis itu sedikit tenang di pelukannya. Sembari membisikkan kata-kata yang mungkin bisa menenangkan Raya.

"Gue di sini. Lo aman sekarang."

Sepuluh menit berlalu, Raya sudah mulai tenang. Regan mengajak Raya untuk pindah ke kamarnya. Namun tubuh Raya masih sangat lemas, tangannya juga masih bergetar. Jadi Regan memutuskan untuk menggendong gadis itu.

"Ray, sorry." Ucapnya sebelum meletakkan tangan kiri di telungkuk Raya, dan tangan kanan di bawah lututnya. Ia mengangkat Raya, tak lupa handphone Regan yang ia selipkan di sela-sela dadanya dan tubuh Raya.

Regan merebahkan Raya dengan hati-hati, gadis itu sudah lumayang tenang. Tepat Regan hendak beranjak, suara petir membuatnya menjerit lagi, Regan merebahkan tubuhnya di samping Raya dan kembali mendekap gadis itu. Kini ia tahu. Raya takut petir, terbukti setelah beberapa saat gadis itu tenang, kini kembali panik mendengar suara petir.

"Gapapa, Ray. Ada gue, lo gak usah takut."

Usapan hangat di punggung Raya membuatnya merasa tenang kembali. Raya mencoba meyakini dirinya kalau ia akan baik-baik saja malam ini.

Tidak ada yang tahu kapan hujan badai berakhir, tidak ada yang tahu kapan listrik kembali nyala. Yang terpenting, malam ini kedua insan yang berstatus Suami-Istri sudah terlelap dengan memeluk satu sama lain.

Ntah apa rencana Tuhan untuk mereka, yang awalnya saling tolak-menolak, kini mereka perlahan mulai memerlukan dan ada untuk satu sama lain. Hanya saja belum disadari keduanya, karena ego masih di atas segalanya. Semoga waktu yang dapat menyadarkan mereka akan garis takdir yang mereka arungi melalui perjodohan ini.

***
TBC

Married With KahimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang