17. Talk to You

23 4 2
                                    

Makan malam kali ini berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Regan dan Raya memang sesekali makan bersama ketika Raya pulang dengan membelikan dua bungkus makanan, atau Regan yang melakukan hal yang sama. Ada kalanya Regan makan di dapur sedangkan Raya di kamar, ada kalanya juga mereka makan bersama di depan televisi. Kali ini mereka makan bersama lagi di depan televisi dengan duduk melingkar setelah Regan menyampingkan meja sofa agar lebil leluasa. Ini ide sang Bunda, mengingat meja makan mereka hanya memiliki dua kursi, jadilah ide makan lesehan tercetus.

Sedari tadi Raya hanya menyimak interaksi antara Regan dan Aghni yang membahas anak laki-laki di sekolah Aghni yang sangat usil mengganggunya. Regan pernah berkata jika seseorang mengganggu Aghni atau berbuat jahat pada keponakannya, Aghni wajib melapor pada Regan. Walaupun Regan tidak ikut campur dengan menegur langsung, setidaknya Regan bisa memberitahu Aghni apa yang harus anak itu lakukan untuk melindungi dirinya.

"Pokoknya kalo Iki ganggu Aghni lagi, Aghni ngejauh aja, ga usah diladenin, ga usah di lawan, nanti juga dia capek sendiri. Kalo Aghni lawan dia makin suka gangguin Aghni. Selagi dia usilnya gak kasar gak usah dilaporin ke Ibu guru, kecuali kalo dia kasar, kayak mukul Aghni, atau ngatain Aghni sampe Aghni sakit hati, baru boleh laporin. Tapi laporinnya dengan cara Aghni datengin Ibu gurunya, ngomong berdua." Disaat-sat seperti ini watak seorang pemimpin dalam diri Regan tercetak jelas di mata Raya. Ia memberikan solusi dengan meminimalisir terjadinya pertikaian.

Terkadang Raya heran, bagaimana bisa cowok itu bisa memecahkan masalah orang lain dengan baik, namun ia tidak bisa memecahkan masalah dan mencarikan solusi untuk masalanya sendiri. Ya, begitulah Regan di mata Raya, ia pandai memutuskan untuk mengambil suatu tindakan dengan meminimalisir resiko yang terjadi di lingkungan sekitarnya, sayangnya cowok itu kurang pandai dalam membuat keputusan dan terlalu takut menghadapi resiko atas dirinya.

"Aghni, tolong ambilkan ikat rambut Nena yang kecil di tas Nena di kamar, sayang."

Gadis kecil itu mengikuti perintah sang Nenek. Firasat Raya tidak enak, pasalnya sejak Ibu mertuanya merapikan barang-barangnya di kamar Raya, beliau kembali dengan ekspresi yang tidak biasanya. Raya curiga mertuanya itu melihat barang-barang yang Raya sembunyikan di bawah kasur. Seharusnya tidak ketahuan, tapi entah mengapa hatinya begitu gelisah sejak tadi.

"Kalian tidur di kamar depan?" Tepat sasaran. Raya melirik regan yang juga melihatnya. Ia berharap Regan saja yang menjawab.

"Iya, bagus view-nya langsung ke jalan raya."

"Kamu aja atau Raya juga?"

Tatapan mengintimidasi itu membuat Raya menundukkan kepalanya. Tidak ada jalan lain selain mengaku. Lagipula ia yakin mertuanya itu sadar jika kamar yang hendak didiaminya bukan seperti kamar yang lama tidak terpakai. "Maaf, Bunda. Kita kadang masih tidur beda kamar. Ini permintaan Raya kok, Bund. Kita masih menyesuaikan diri sama status kita yang baru."

Regan melirik Raya di sebelahnya, sedikit heran kenapa gadis itu hanya mengatakan itu permintaannya. Padahal keputusan itu hasil keputusan keduabelah pihak. Wenda hanya menghela nafas. Ia paham jika putranya masih terlalu dini untuk membina rumah tangga. Ia juga tidak bisa menyalahkan Regan untuk ini. Biarkan putranya itu mengambil keputusan sebagai kepala rumah tangga. Ia tidak ingin ikut campur.

"Gapapa, Bunda ngerti. Dibiasain ya, sayang, gak baik suami istri tidur pisah terlalu lama." ucapnya sembari tersenyum.

"Ini udah ya, Bunda? Biar Raya beresin." Raya merapikan piring-piring kotor dan meletakkannya di water sink.

"Regan, nih bantuin istri kamu." Wenda memberikan sisa piring kotor pada Regan, menyuruh putranya turut membantu istrinya.

Raya menyambut piring kotor dari Regan, ia mempersilahkan Regan kembali bersama sang Bunda ketika laki-laki itu menggulungkan kaos lengan panjangnya hingga batas siku. Regan menolak, ia berisikeras untuk membantu Raya mencui piring dengan embel-embel agar sang Bunda percaya bahwa keduanya benar-benar sedang menyesuaikan diri untuk saling menerima satu sama lain. Raya mengangguk, mempersilahkan laki-laki itu membantunya, ia berdiri disamping Raya, menyambut piring bersih yang sudah Raya cuci untuk diletakkan pada rak piring.

Married With KahimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang