Part 35

111 12 13
                                    

Pak Anton yang melihat interaksi di antara Evan dan Velove semakin mengembangkan senyumnya. Dalam hati, beliau berharap jika dua manusia berbeda gender itu bisa saling tertarik dan memiliki hubungan lebih dari sekedar teman ke depannya.

Namun, di saat yang sama, beliau melayangkan pandang pada Alvin yang tampak kurang senang saat melihat perkenalan yang terjadi di antara Evan dan Velove. "Siapa pemuda ini? Lagaknya seperti bukan teman dari Velove. Mungkin kah karyawati kesayanganku ini telah memiliki tambatan hati sebelum berkenalan dengan Evan?" Kecurigaan dalam hati Pak Anton hadir secara mendadak.

Selain rasa curiga, beliau juga sedikit khawatir jika karyawati yang dijadikan target sebagai menantunya itu akan lebih memilih Alvin dibanding Evan. Tentunya, hal itu tak pernah terpikirkan oleh Pak Anton sebelumnya.

"Aku harus jelasin ke Evan kenapa dia wajib menjalin hubungan dengan Velove," tutur Pak Anton dalam hati.

Ketika sedang berbasa-basi dengan Velove, ekor mata Evan tak sengaja tertuju pada sosok Alvin yang memasang tatapan dingin padanya.

"By the way, dia siapa, Ve? Pacarmu?" Evan memberanikan diri untuk bertanya.

Velove mengulum senyum dan tampak tenang sembari menanggapi, "Bukan, Van. Dia temanku, kenalin, namanya Alvin."

Seketika, Alvin merasakan sakit pada relung hatinya, bagai ditusuk oleh ribuan jarum pintal. "Terus, hari-hari, aku bertamu di rumahmu cuman sebagai teman, Ve? Mana ada teman biasa yang sempatin waktu buat berkunjung kaya aku ke kamu??" Seperti itu lah Alvin menggerutu dalam hati, merasa tak terima dengan pengakuan Velove yang baru saja didengarnya.

"Hai, Alvin. Namaku Evan," ucap Evan dengan senyum simpul sembari mengulurkan tangan pada Alvin.

Sementara, yang diajak berkenalan menatap Evan datar dan terlihat kurang senang. "Salam kenal, aku Alvin," balas Alvin sembari menjabat tangan Evan pelan. Kemudian, ia melayangkan tatapan dingin pada pewaris tunggal dari Garryson Company itu.

Sedangkan, Evan yang mendapat tatapan tersebut justru terlihat tenang dan sama sekali tidak terganggu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sedangkan, Evan yang mendapat tatapan tersebut justru terlihat tenang dan sama sekali tidak terganggu. Menurutnya, Alvin merupakan sosok laki-laki yang cukup kharismatik meski belum seutuhnya mengenal secara pribadi.

"Senang berkenalan denganmu," ujarnya dengan senyum simpul yang masih terbingkai di bibir mungilnya.

Alvin tak menanggapi ujaran dari pria yang dianggapnya sebagai saingan itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alvin tak menanggapi ujaran dari pria yang dianggapnya sebagai saingan itu. Ia malah mengalihkan tatapan pada Velove dan terdiam. Sementara, wanita berbibir merah tebal itu menatap Alvin balik. Ada rasa bingung yang menjalar dalam pikirannya secara mendadak.

"Alvin ini kenapa? Bukannya nanggapin salam dari Evan, malah lihatin aku lama kaya gini. Maksudnya apa coba??" Velove bertanya-tanya dalam hatinya.

Kemudian, Alvin beralih dan berbisik pada telinga Velove perlahan, "Kita cari minum yuk. Tenggorokanku kering,Ve."

Velove yang mendengar suara berat milik Alvin di telinganya langsung mendapat sport jantung. Bagaimana tidak? Seumur hidup, baru kali ini ia mendengar suara berat nan seksi milik laki-laki tampan seperti Alvin.

"DEG..DEG.." Dentuman tersebut bergetar hebat dalam dadanya. "Apa ini? Kenapa hanya dengar suaranya aja, aku sampe deg-degan kaya habis dengar petasan? Mana suaranya deket banget di telinga." Velove berujar dalam pikirannya.

Tanpa berujar lagi, Alvin segera menarik tangan Velove dan melangkah perlahan. Dalam hitungan detik, dua insan itu berlalu dari hadapan Evan yang menatap dengan dua mata membulat sempurna. "Mereka teman 'kan? Tapi kenapa terlihat sangat mesra??" ragu Evan dalam hati.

***
"Gimana, Ve?" tanya Benita sembari mencengkram setir dan melirik Velove sekilas.

"Gimana apanya, Ben?" Velove pura-pura tak paham dengan pertanyaan yang dimaksud oleh Benita. Padahal, sebenarnya, ia mengerti bahwa sahabatnya itu sedang menanyakan pendapat pribadinya tentang Evan.

"Evan, tadi 'kan kamu sempat kenalan dan ngobrol-ngobrol sama dia," jelas Benita sembari menatap lurus pada jalan raya.

Velove menyisir rambutnya dengan jemari dan menanggapi, "Dia sopan, ramah, tapi agak dingin."

"Dingin? Maksudmu kaya kulkas dua pintu gitu??" Benita menekan nada bicaranya saat bertanya.

"Ya kamu tahu 'kan cowok dingin itu yang kaya gimana." Velove enggan menjelaskan lebih detail. Ia tahu betul jika titel 'cowok dingin' bukan lah kata baru bagi Benita.

Sedangkan, Alvin yang mendengar tentang tanggapan Velove terhadap Evan tersenyum senang. Saking senangnya, kedua mata pria tersebut sampai membentuk bulan sabit terbalik yang indah.

Moment tersebut juga tertangkap basah oleh kedua netra Benita. Wanita dengan rambut coklat berkilau itu langsung menodongkan pertanyaan, "Vin, kamu kok ketawa gitu? Kenapa?"

Alvin yang tertangkap basah menjadi salah tingkah. Seketika, senyuman itu sirna dan berganti dengan ekspresi wajah canggung dan pandangan mata teralih.

"Ah, itu, aku senang soalnya, aku bisa tidur lebih awal malam ini. Itu juga berkat kalian berdua 'kan," kilah Alvin tanpa membalas pandangan Benita yang masih tampak pada kaca spion tengah.

"Beneran??" Benita sedikit ragu dengan alasan yang dilontarkan oleh Alvin.

Di saat itu juga, Velove menoleh dan mengunci pandangan pada Alvin sembari berujar dalam hati, "Masa dia ketawa gara-gara aku nilai Evan dingin? Ah, mungkin memang benar, dia senang karena malam ini engga lagi tidur gara-gara nge-DJ sampe pagi. Kasihan juga dia."

"Beneran, Nit. Biasanya, aku engga bisa tidur cepet, gara-gara kerjaanku yang sampe subuh itu. Nah, hari ini, aku ijin sama bosnya dan dibolehin. Yah, itung-itung aku bisa tidur lebih lama," beber Alvin guna meyakinkan jika memang itu lah alasan mengapa dirinya tersenyum senang seperti beberapa menit lalu.

"Hmm, repot ya. Kenapa kamu engga kerja yang lain aja, Vin? Kamu kuliah 'kan dulunya?" Benita juga merasa kasihan dan membrondongnya dengan dua pertanyaan sekaligus.

"Aku kuliah, tapi rada bingung buat cari kerja. Kebetulan, relasiku juga engga terlalu banyak," jelas Alvin sembari melirik Velove lekat-lekat.

Velove pun mendadak ingin membantu Alvin mencari kerja yang layak. Minimal, teman laki-lakinya ini tak lagi mengorbankan kesehatannya hanya demi mengais rupiah.

"Nanti kalau ada lowongan di kantorku, aku kabarin ya, Vin," papar Velove dengan senyum kecil tersemat.

"Engga masalah, Ve. Meski engga ada pun, aku engga maksa." Alvin menanggapi tanpa melepas pandangannya pada Velove seakan dirinya takut jika wanita incarannya itu melarikan diri.

Benita yang tahu akan hal itu turut merasa senang. Baginya, Velove yang dikenal dingin dan cuek, kini telah meleleh sedikit demi sedikit karena ketulusan hati seorang pria yang status pekerjaannya sangat berbeda jauh dengan sehabatnya yang cerdas itu.

"Semoga, ke depannya, Velove memang bisa membuka hati dan menjalin hubungan dengan laki-laki. Aku engga tega lihat dia fokus kerjaan terus, stress rasanya," ucap Benita dalam hati, merapalkan doa dan harapan terbaik untuk Velove.

Sedangkan, Alvin yang kini kembali terdiam berbisik dalam pikirannya, "Besok, aku harus negasin ke dia tentang hubungan yang masih di ranah abu-abu ini. Aku engga rela kalau sampai dia juga buka hati ke Evan!"

TO BE CONTINUED..

Hayoo, yang dah nungguin siapa? Habis gini, meletus nih..

My First and Last [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang