Rama yang mendapati Jesslyn dengan amarah memuncak sedikit ketakutan. Ia tak menyangka jika tindak balas dendam yang dilakukan untuk kebahagiaan putrinya itu malah tak membuat Jesslyn tersenyum senang.
"Papa lakuin ini, untuk balasin rasa sakit hatimu, Jess." Rama bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri putri kesayangannya itu.
"Aku memang sakit hati karena gagal tunangan sama Alvin, tapi Papa engga perlu lakuin hal kotor kaya gini." Jesslyn menjabarkan dengan tatapan tajam yang membuat nyali Rama semakin menciut.
Rama pun menatap dengan penyesalan yang bercokol dalam hati. Ia menundukkan kepala, merenungkan apa yang sudah terlanjur diperbuatnya. Di saat itu juga, ia merasa malu terhadap putri semata wayangnya dan juga dirinya sendiri.
"Apa yang putriku katakan benar. Aku tak seharusnya membalaskan dendam dengan cara seperti ini. Ah, aku sungguh bodoh!" Rama berujar dan mengumpat dalam hatinya akan kebodohan yang sudah dilakukan.
Di saat itu juga, Jesslyn kembali bersuar, "Karena semuanya sudah terlanjur, aku akan usut kasus ini ke polisi. Terima kasih, Papa telah sukses untuk menghadang jalan karirku sebagai model di Pasar Internasional."
Ucapan yang meluncur dari bibir Jesslyn itu membuat Rama semakin gelisah. Ia pun menghampiri putrinya dan meraih tangan Jesslyn perlahan sembari memohon, "Jangan, nak. Papa engga sanggup kalau harus mendekam di penjara."
"Kenapa papa baru terpikir akan resikonya sekarang? Sebelum papa lakukan hal itu, pernah papa berpikir bagaimana akhirnya?" Jesslyn menepis tangan papanya dengan pandangan tajam. Rasa kecewa mendalam sangat terpancar dari tatapannya.
Sekali lagi, ujaran dari bibir Jesslyn mengiris hati Rama. Pengusaha yang terbilang lebih sukses dari Adrian itu tak bersyukur dengan setiap pencapaian yang telah dimilikinya sebagai seorang pengusaha terkenal.
Di saat itu juga, Jesslyn berlalu dan keluar dari ruangan papanya. Dengan rasa kesal dan malu yang masih menguasai diri, ia memantapkan tekadnya untuk melaporkan sang papa ke polisi. Baginya, tak jadi masalah, jika nama baiknya turut terseret dalam kasus yang menyedihkan itu karena ia lebih memilih mengungkapkan fakta dan kebenaran yang terjadi.
-**-
Sementara itu, di lain hari, Velove yang sedang menyuapi menu makan siang di ruang kamar inap Adrian terlihat santai meski sebenarnya merasa kesulitan dalam membujuk papa kandung dari kekasihnya itu untuk makan siang.
"Om, makan ya, dikit aja." Velove merayu dengan senyum kecil tersemat pada bibirnya yang dibaluri liptint berwarna merah marun.
Adrian yang bibirnya sedikit miring menggeleng pelan dan menatap Velove kesal. Ia tak menyangka jika wanita yang masih dipertahankan oleh putranya itu bukannya pergi malah tetap membujuk dirinya untuk mengisi perutnya yang keroncongan.
Velove yang tak merasa emosi masih setia membujuk, "Om jangan gini terus. Nanti, Alvin jadi makin sedih kalau Om engga kunjung sehat."
Mendengar nama Alvin disebut, Adrian langsung menatap Velove dengan tatapan penuh harap. "Om makan ya?" Velove mulai menyendok bubur perlahan.
Adrian yang awalnya menatap Velove dengan tatapan kesal mengangguk pasrah. Ia berusaha untuk tidak meninggikan egonya di masa sulit yang dialaminya secara mendadak.
Velove pun mulai menyuapi bubur pada Adrian dengan telaten. Sesekali, di sela santap siang itu, Velove membantu papa dari Alvin tersebut untuk meneguk air putih dari gelas plastik yang digenggamnya.
Di saat itu juga, pandangan Adrian tentang Velove yang menurutnya kurang sepadan dengan putra semata wayangnya sedikit berubah. "Sepertinya, aku harus mulai menerima keputusan Alvin jika ia memang berminat menikahi Velove. Toh, di saat seperti ini, dia masih bersedia merawatku, terlepas dari kejahatan yang pernah ku lakukan padanya." Adrian berujar seraya menatap Velove yang kini masih menyuapinya dengan bubur yang terasa hambar saat dikecap.
Setelah bubur dari mangkuk itu tandas, Velove kembali bersuara, "Habis gini, suster datang buat anterin obat Om. Terus, untuk agenda besok, Om ada jadwal terapi syaraf kaki dengan Dr. Teguh."
Adrian pun hanya menatap Velove sekilas, merasa bahwa wanita yang kembali menjalin hubungan dengan putranya itu adalah pribadi berhati malaikat dan tidak pendendam.
Velove yang tak menyadari tatapan dari Adrian segera berlalu untuk mencuci piring beserta peralatan makan pada kamar mandi pasien yang tersedia.
Meski ia merasa lelah secara fisik dan mental, Velove tetap berusaha sabar dan menekan egonya. Hal itu ia usahakan secara tulus, bukan karena maksud lain atau mencari perhatian dan simpati.
"Aku harus dampingi Om Adrian sampai pulih. Hal ini ku lakukan bukan untuk memperoleh restu darinya, melainkan karena keinginanku sendiri." Velove berujar dalam hatinya.
Setelah selesai mencuci peralatan makan, Velove kembali membantu Adrian bersiap untuk kegiatan fisioterapi yang akan dijalani bersama dengan Dokter Teguh.
Tepat di pukul 11.30, Adrian dan Velove dipandu oleh suster untuk menuju ruang khusus terapi. Wanita dengan proporsi tubuh semampai itu terlihat sangat sabar dan telaten dalam mendampingi Adrian ketika melakukan kegiatan terapi syaraf.
-**-
"TUT..TUUTT.." Alvin menanti panggilan suara yang dilakukannya tersambung.Beberapa detik kemudian, dari speaker ponsel miliknya, terdengar suara wanita yang sejak tadi betputar di pikirannya, "Iya Vin, ada apa?"
"Kamu masih di rumah sakit?" Alvin segera membuka obrolan dengan pertanyaan.
"Iya. Masih nungguin papamu diperiksa. Baru selesai terapi juga." Velove menanggapi dengan santai.
Alvin yang mendengar tentang itu menyunggingkan senyum senang. Ia merasa beruntung karena tak benar-benar melepas Velove dari hatinya meski sempat terpisah.
"Aku jemput ya? Sekalian kita makan siang." Alvin menawarkan dengan mimik wajahnya yang terlihat lebih bahagia dari biasanya.
"Memang kamu engga repot?" Velove bertanya dengan nada ragu.
"Engga. Aku sebentar lagi juga pulang. Ini 'kan hari Sabtu, Ve." Alvin menanggapi seraya memberi kode jika dirinya ingin menghabiskan waktu dengan sang kekasih di akhir pekan.
"Iya, iya. Nanti, kita jalan-jalan kok." Velove yang peka akan hal itu menjawab dengan ulasan senyum hangat sembari menatap Adrian yang sudah selesai diperiksa.
"Wah, pacarku makin peka ya. Perasaan dulu aku kenalannya sama kulkas dua pintu." Alvin mulai menggoda Velove, mengingatkan pada awal pertama, saat mereka tak sengaja bertemu di restoran.
"Kulkas dua pintu? Memang aku sedingin itu?" Velove tak percaya jika dirinya yang dulu memiliki pribadi yang cuek dan dingin.
"Iya, engga peka juga. Padahal, aku udah dari lama suka sama kamu, dari sebelum kita ketemu." Alvin pun mengungkapkan fakta yang disadari oleh Velove saat dirinya pertama kali berkunjung ke Melly's Garden Bar.
"Yang bener? Gombal nih pasti." Velove merasa sedikit kebingungan dengan kata-kata yang diujarkan oleh prianya itu. Ia ternyata sudah melupakan saat pertama kali dirinya melihat Alvin bekerja sebagai DJ di bar.
"Pertama kali, waktu aku masih kerja malam sebagai DJ di cafe. Lucu 'kan? Padahal baru pertama kali, aku lihat kamu sama temen-temenmu di bar. Engga kenal, tapi lihat kamu rasanya langsung kepo." Alvin kembali menjabarkan fakta yang dirasakannya dengan bangga.
TO BE CONTINUED..
Hai semuanya, Maaf aku baru up lagi. Seri ini otw tamat ya. Penasaran sama gantinya engga? Oh iya, kalian bisa liat Alvin di seri sebelah, 'Hold You Forever'. Dia jadi cameo di sana.
Thank you banget buat pembaca setia AlVe story. Update soon! 🙏🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
My First and Last [COMPLETED]
RomanceVelove, wanita workaholic yang sulit percaya akan cinta, menikmati status singlenya tanpa terpikir akan melabuhkan hati pada seorang pria. Hal itu membuatnya disindir oleh keempat sahabatnya. Label pemilih dalam hal pasangan pun disandangnya. Hingga...