Part 50

64 6 3
                                    

Di lain tempat, Alvin yang sedang menghadiri meeting di salah satu restoran elit dengan sang papa kembali diliputi kenangan yang pernah diukirnya bersama Velove.

Ingatan tentang dirinya yang pernah membawa Velove makan malam di restoran mahal bertandang. Kala itu, ia memesankan menu rekomendasi yang pernah disantapnya bersama kedua orang tua saat masih duduk di bangku kuliah.

Saat beberapa macam menu tersaji di atas meja, Alvin dan Velove mulai menikmati kudapan sembari bertukar cerita dan senyum. Di sela kegiatan itu, Alvin meraih kotak perhiasan berukuran tanggung dan memberikannya pada Velove.

Velove yang melihat kotak berwarna biru navy itu bertanya, "Ini apa, Vin?"

"Buka aja. Kamu pasti suka." Alvin menaggapi seraya menggenggam lembut jemari Velove tanpa melepas tautan senyum pada wajah tampannya yang manis dan tak membosankan.

Dalam beberapa detik, Velove pun membuka kotak berbentuk balok itu dan tampak lah kalung yang berbahan dasar emas putih dengan simbol setengah hati.

"Setengah hati?" Velove mengerutkan keningnya sembari sedikit menekan nada bicaranya.

Alvin mengulum senyum kilat dan menunjukkan kalung setengah hati yang melingkar di lehernya sembari berujar, "Sama kaya punyaku, Ve. Sini aku pakein."

Velove pun mengesampingkan rambut panjangnya, membiarkan leher jenjang dan bagian kuduk putihnya terkekspos. Sementara, Alvin yang masih menyematkan senyum mulai mengalungkan kalung pemberiannya pada leher putih yang menjadi pusat perhatiannya kini.

"You look so beautiful, Ve." Alvin memuji kecantikan kekasihnya sembari memeluk bahu Velove dari belakang, menyalurkan rasa hangat dari tubuh tegapnya yang terbalut kemeja putih gading.

Velove yang disanjung dan menikmati rasa hangat pada bahunya tersenyum dan menanggapi, "Engga, Vin. Biasa aja kok."

"Tapi, buat aku, kamu yang tercantik," sambung Alvin sembari mengusap pucuk kepala sang kekasih.

Lalu, memory itu dalam sekejap mata sirna saat Alvin mendengar suara Adrian yang memanggil namanya, "Alvin!"

"I-iya, Pa?" Alvin sedikit terkejut sembari menatap Adrian.

"Kamu lamunin apa, hm? Dari tadi dipanggil, baru sekarang jawab." Adrian mengomel dengan tatapan kesal.

"Engga ada, Pa." Alvin langsung menjawab pertanyaan yang dilayangkan oleh pria dengan ego luar biasa itu.

Adrian yang menangkap kesenduan dari mata putranya kembali berujar, "Pasti lagi mikirin wanita itu 'kan? Benar-benar membuang waktu!"

Mendengar tanggapan dari Adrian membuat hati Alvin yang masih membiru sedikit teriris. Ia tidak pernah menyangka jika sang papa akan sangat membenci hubungannya dengan Velove.

Persepsi awalnya, ia berpikir jika Adrian mungkin hanya membenci sesaat lalu melupakan. Namun, hal tersebut berbanding jauh, Adrian sangat menentang jika dirinya masih terkait dengan hal-hal yang berbau soal Velove.

Dengan rasa perih yang menjalari relung hatinya, Alvin memalingkan pandang dari Adrian dan terdiam, enggan membalas ujaran dari papanya itu.

"Sampe papa sakit-sakitan, papa engga akan sudi kalau kamu berakhir dengan wanita itu di altar. Kamu bisa pegang kata-kata papa!" Adrian mempertegas ucapannya dengan tatapan dingin. Kali ini, ia tak ingin putranya meremehkan ucapan yang seperti tak memiliki bukti tersebut.

Alvin pun menatap sang papa tajam dan menanggapi dengan senyum remeh, "Kita lihat ke depannya bagaimana. Papa cuman belum tahu aja Velove itu wanita yang seperti apa."

***
Sekitar tiga bulan kemudian, Alvin yang sudah mulai terbiasa dengan rutinitas sebagai seorang CEO di kantor mulai bekerja secara mandiri. Sosoknya yang terkenal pendiam dan dingin membuat seluruh karyawan dan karyawati tunduk dan tak berani mendekat.

Hal tersebut tentunya membuat Adrian senang. Keinginannya yang sejak lama dinanti kini menjadi kenyataan, ia tak perlu terlalu pusing memikirkan tentang masa depan usaha yang dibangunnya dari nol.

"Bagus, satu mimpiku sudah terwujud. Tinggal satu mimpi lain yang membuat keluargaku sempurna," ucap Adrian sembari mengusap pigura foto yang menampakkan sosok Alvin yang tengah berdiri dengan setelan jas berwarna abu-abu tua yang bersahaja.

Guratan senyum mengembang penuh harap tersemat pasa bibir penuh itu. Dalam hati, Adrian kembali berujar, "Saatnya mencarikan calon istri yang sepadan untuk Alvin. Putraku harus bersanding dengan wanita yang setara dari segi derajat dan status sosial. Kali ini, tak ada celah untuknya dalam menolak perjodohan yang sudah ku tentukan."

Kemudian, Adrian meraih ponsel dan menghubungi nomor dari mitra kerjanya yang bernama Rama. "Halo, Rama?" Ia membuka obrolan dengan sapaan ramah dan senyum simpul bersarang pada wajahnya yang sedikit berkerut.

"Wah, Adrian ya. Apa kabar, bro?" Suara Rama terdengar jelas dari balik speaker telepon, menyambut senang sosok yang sudah sangat lama dikenalnya.

"Baik. Kamu sendiri gimana?" Adrian bersandar sembari menanggapi pertanyaan Rama santai.

"Extremely good. Sekarang, aku lagi jalan sama Jesslyn, my little princess." Rama menjabarkan rutinitasnya di siang hari secara jujur.

"Jesslyn yang pernah kamu ajak ke kantor? Dia udah besar ya sekarang." Adrian mulai berbasa-basi tentang putri bungsu dari seorang Rama Oktavian.

"Iya, udah besar dan udah pantas jadi istri orang, Dri." Rama menanggapi dengan candaan ringan sembari menangkap tatapan sinis yang dilayangkan oleh putrinya yang sedang duduk di sebelahnya.

"Hahahahaha. Bisa aja kamu, Ram." Adrian tertawa renyah.

"Oh iya, ngomongin soal anak, putra semata wayangmu gimana? Udah pulang?" Rama mengganti topik obrolan. Rupanya, ada motif tersembunyi yang mendadak membuat dirinya penasaran dengan putra dari mitra bisnisnya itu.

"Udah, aku paksa dia pulang. Bener-bener engga tahu diri," jelas Adrian dengan senyum lebar yang menipis.

"Terus, dia mau jalanin perusahaan?" Rama bertanya lebih detail.

"Mau, dia udah aku ancam." Adrian menjawab singkat

Di saat itu juga, Rama menyatakan maksudnya secara terang-terangan, "Eh, besok kita dinner bareng yuk. Sekalian, ngenalin Jesslyn sama anakmu, Dri. Mau engga?"

"Wah, boleh-boleh. Kita juga bisa temu kangen. Udah lama engga ngobrol dan ramah-tamah." Adrian menyanggupi ajakan dari Rama dengan senang hati.

Rama yang mendapat lampu hijau melebarkan senyum pada bibir tipisnya. Ia menanggapi, "Oke, Dri. Besok, kita ketemuan jam 6 sore, di Pronto Restaurant ya."

"Beres, Ram. Kabarin ya kalau udah sampe." Adrian berujar dengan tatapan yang memancarkan antusiasme. Ia sudah tak sabar untuk melihat interaksi di antara Alvin dan Jesslyn esok malam.

"Siap, Bos Adrian! Udah dulu ya, aku lagi dalam perjalanan pulang nih." Rama menyudahi percakapan dengan sopan.

"Yuk," balas Adrian sembari menekan tombol berlogo telepon berwarna merah.

Setelahnya, Adrian meletakkan ponsel pada meja kerja. Ia menyimpulkan senyum semangat dan berujar dalam hati, "Dreams come true. Baru punya pikiran buat ngenalin Alvin sama anak dari salah satu rekan kerja, si Rama langsung nawarin. Ini bakal jadi awal yang baik. Kalau Alvin menikah sama Jesslyn, perusahaan dan pabrikku secara resmi menjadi perusahaan otomotif raksasa yang tahan saing!"

TO BE CONTINUED..

Ada yang penasaran sama visual Jesslyn engga? Ini bapaknya Alvin makin gila ya pikirannya, geser banget otaknya. Thank you buat yang udah nyempatin baca dan vote!

Kalo buku ini dibukuin, menurut kalian gimana? Komen ya!

My First and Last [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang