Alvin yang mendapati kehadiran Adrian segera menjeda kegiatannya. Lalu, ia berbisik pada Kelly, rekan kerjanya yang sedang membersihkan salah satu meja untuk menggantikannya meracik kopi, "Kel, tolong gantiin aku bentar ya. Aku ada sedikit urusan nih."
"Oke, Vin." Kelly mengangguk seraya meraih serbet di tangan dan melangkah di balik counter. Ia mulai melaksanakan tugasnya.
Sementara, Alvin menghampiri papanya dan berujat pelan, "Kita selesaikan urusan itu di luar."
Adrian pun memberikan sinyal bahwa dirinya setuju. Papa dan anak tersebut berlalu keluar dari cafe dan mulai membicarakan urusan yang membuat mereka bersitegang satu sama lain.
"Kamu ini beneran udah engga beres ya? Papamu ini pengusaha sukses ternama, punya jabatan bagus. Kamu malah bikin malu, dengan kerja di cafe yang engga seberapa kaya gini!" Adrian mulai mengomel dengan tatapan kesal tertuju pada Alvin.
Alvin menatap dengan senyum remeh dan menanggapi, "Setidaknya, aku engga lagi dibayang-bayangi dengan pamor dan image Papa yang terkenal kejam dan berdarah dingin sebagai pengusaha."
Adrian mulai mengembangkan senyum miringnya yang dilengkapi dengan deretan gigi putih, menambah ketampanan dengan sorot matanya yang tajam bak elang. "Dan kamu tumbuh besar di bawah uang dan pengasuhanku, Alvin Leonard!" Adrian menyombongkan dirinya.
"Maka dari itu, aku melarikan diri. Aku engga pernah nyangka kalau papaku sendiri udah jadi monster yang gila dengan obsesinya sendiri!" Alvin balik membalas ucapan sombong papanya dengan mimik wajah meremehkan.
"PLAKK!" Adrian pun melayangkan tamparan pada wajah tampan putranya dalam sekejap. "Jaga bicaramu! Tanpa adanya papa, kamu engga akan bertahan sampai hari ini, Alvin!" Adrian membentak dengan tatapan dinginnya yang tak memiliki belas kasih usai melayangkan tamparan pada putra kandingnya sendiri.
Alvin yang menerima perlakuan itu menatap nyalang pada sang papa. "Kenapa papa engga sekalian bunuh aku? Biar puas!!" Alvin semakin marah dan menantang Adrian dengan sorot mata menusuk, memancarkan amarah yang menggelegar.
Adrian masih dengan tatapan dinginnya menatap sembari menanggapi, "Karena kamu pewaris tunggal. Papa engga akan lepasin kamu gitu aja!"
"Tapi, aku engga punya pikiran untuk itu." Alvin masih bersikeras dengan pendiriannya.
"Dan membiarkan wanita kesayanganmu menderita? Setelah ini, mungkin aja, kamu engga lagi bisa melihat wajahnya." Adrian yang paham akan kelemahan Alvin mulai menakut-nakuti.
Alvin kembali menatap papanya dan memutuskan, "Baik kalau memang papa berani menyentuhnya. Aku akan pulang."
"Hah, dasar lemah! Hanya untuk wanita pemilih seperti dia, kamu rela bersusah ria, berjuang untuknya." Adrian sekali lagi mencemooh tingkah laku putranya yang memang sulit jatuh cinta dan terkenal dingin berubah menjadi sosok romantis dan penyayang saat bersama Velove.
"Tapi, dengan satu syarat," sambung Alvin dengan sorot mata menuntut dan rahangnya mengeras.
Adrian yang semula menyunggingkan senyum kemenangan terlihat menatap dengan sorot mata yang kembali serius. "Apa syaratnya?" tanya Adrian sembari menekan nada bicaranya.
"Papa lepasin Velove dan jangan pernah ganggu hidupnya. Engga adil kalau papa marah sama aku, tapi dia juga turut disangkutpautkan," tegas Alvin dengan tatapan tajam.
"Deal! Papa lepasin dia." Adrian pun menyetujui persyaratan yang ditentukan oleh Alvin. Yang ia inginkan hanya lah satu, mengontrol putranya itu saat memasuki perusahaan besar miliknya.
Alvin yang sedikit merasa lega memilih untuk mengalihkan tatapan sembari melangkah, hendak berlalu dari hadapan sang papa. Namun, sebelum tubuh tinggi itu benar berlalu, satu tangannya ditahan oleh Adrian sembari berkata, "Mau ke mana? Ikut papa sekarang!"
"Tapi, ini belum sore hari," bantah Alvin dengan tatapan dingin menusuk.
Adrian malah menarik tangan Alvin paksa dan bersikukuh berujar, "Waktunya 1 x 24 jam, dan kamu sendiri juga setuju untuk pulang. Jadi, sekarang, kamu tanggung jawab dengan apa yang kamu bilang tadi!"
Dengan terpaksa, Alvin mengikuti arahan papanya yang kini dikawal oleh dua orang bodyguard bertubuh besar dan berotot. Mereka pun berlalu dari cafe dengan mengendarai mobil jeep tinggi berwarna merah tua.
***
Setibanya di rumah, Alvin langsung digiring menuju ruangan tempat Velove disekap. "Ve?!" Alvin mendekati wanitanya sembari mengusap lembut wajah yang telah lama dirindukannya itu."Alvin, aku takut. Tolong bawa aku keluar dari sini," ujar Velove dengan tatapan memohon pada Alvin.
"Kamu sabar ya. Aku udah nemuin solusinya, Ve." Alvin sedikit berbisik seraya menenangkan wanita yang diperjuangkannya dengan kerja keras yang cukup menyita waktu tersebut.
Adrian yang baru saja memasuki ruangan menatap kemesraan putranya dengan Velove sembari berujar dengan lantang, "Vin, ingat kesepakatan kita sebelumnya. Kamu juga engga punya waktu banyak."
Alvin yang masih menatap lekat wajah Velove sesekali melayangkan tatapan kesal pada Adrian. Ia sangat benci situasi seperti ini. Di satu sisi, ia masih ingin bertahan dan mengenal Velove lebih jauh. Akan tetapi, di sisi lain, ia takut melukai Velove lebih dalam melalui Adrian yang terus mengancam akan melakukan kekerasan.
"Ve, aku sebenarnya engga mau ngomongin ini, tapi kamu bisa kuat buat aku 'kan?" Alvin memulai pokok pembicaraan tanpa melakukan kontak mata dengan Velove.
Velove yang mendadak merasa tak nyaman dengan ucapan dari lawan bicaranya itu membalas, "Kamu mau ngomong apa, Vin? Tolong jangan buat aku gusar."
"Aku.. udah.." Alvin ingin melancarkan kata-kata putus namun terasa berat semakin ia ingin menyatakannya.
"Udah apa? Ngomong yang jelas Vin!" Velove menatap pria yang disayanginya dengan kedua mata berkaca-kaca.
"Aku.. udah.. engga bisa lagi buat, terusin hubungan kita. Maaf ya, Velove." Alvin pun akhirnya melontarkan kata-kata yang sangat tidak ingin diungkapkan dari awal, sejak dirinya pertama kali menaruh pandang pada wanita yang berhasil diraihnya itu.
Dalam sekejap, kata-kata itu menjelma menjadi ribuan jarum yang menoreh banyak luka pada hati sang wanita. Air mata yang semula mengintip, kini luruh membasahi kedua netra coklat yang indah itu.
"K-kamu.." Velove tergagap menanggapi ucapan pria yang kini merupakan mantan kekasihnya dengan sorot mata ragu. Ia tak percaya jika apa yang ditakutinya sejak dahulu akan terjadi juga.
Alvin yang juga merasakan sakit perlahan melepas tangkupan tangannya pada wajah Velove. Ia menatap ke arah Adrian dan berucap dengan nada menuntut, "Papa senang??"
Bersuka ria di atas penderitaan orang lain, itu lah peribahasa yang menggambarkan situasi yang dihadapi oleh seorang Adrian Leonard saat ini. Ia pun melayangkan tepuk tangan sekilas dan berujar, "Banget! Mulai detik ini, kamu resmi masuk perusahaan dan akan menggantikan papa."
Setelah adegan dramatis tersebut selesai, Adrian meminta Ethan untuk mengantarkan Velove pulang ke rumahnya. Padahal, sang pengusaha memiliki minat untuk melepaskan Velove begitu saja tanpa mengantarnya pulang. Akan tetapi, Alvin yang masih memiliki perasaan terhadap mantan pacarnya itu meminta pada sang papa untuk lebih manusiawi dalam memperlakukan seorang wanita.
TO BE CONTINUED..
Duh, aku yang ngetik part ini, juga rasanya engga rela. Soalnya, mereka itu udah cocok banget, tapi udah jalan ceritanya gini. Maaf ya kalau bikin para pembaca galau 🙏🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
My First and Last [COMPLETED]
RomanceVelove, wanita workaholic yang sulit percaya akan cinta, menikmati status singlenya tanpa terpikir akan melabuhkan hati pada seorang pria. Hal itu membuatnya disindir oleh keempat sahabatnya. Label pemilih dalam hal pasangan pun disandangnya. Hingga...