Velove Pov
"BREEMM..." Deru mesin dari mobil jeep yang kini ku tumpangi meraung dan sedikit mengganggu kedua indra pendengaranku.
Dengan ekspresi wajah gusar bercampur putus asa, ku bawa luka hati yang masih basah ini pulang. Bibir merahku yang biasanya mengembang, melebarkan senyum kini tak lagi bisa berkata-kata.
Sesuai dengan fakta yang sudah lama ku yakini dan berasal dari mulut ke mulut, resiko dari jatuh cinta adalah sakit hati, selain bahagia. Aku, yang sudah membangun tembok tinggi agar tak mudah ditembus oleh siapa pun, luluh dengan usaha laki-laki yang ku yakini akan memperjuangkan diriku sejak awal.
Perlahan, aku mencoba untuk menyisakan satu tempat untuk seorang Alvin Leonard singgah di hati. Meski belum sampai satu tahun ku jalani, ku akui aku cukup merasa nyaman dengannya. Aku mulai terbiasa dengan kehadiran dan perlakuan manisnya terhadapku.
Setiap kata yang meluncur dari bibirnya membuatku mendambakan hadirnya selalu. Tak melihat dirinya satu hari pun rindu melanda meski tertutup gengsi. Dari sanalah, aku sadar jika tembok pertahananku runtuh, hancur, berkat perjuangan yang dilakukan olehnya.
Rasa cinta dan kehangatan hati yang baru pertama kali ku rasa terus membuat hariku berwarna. Senyum pasa bibir ini senantiasa menghampiri meski hanya mendapat pesan-pesan chat darinya.
Namun, hal-hal indah itu hanya berlangsung dalam sekejap. Hari ini, aku yang berharap dirinya akan bertahan dalam hubungan memilih untuk pergi. Aku tahu jelas bahwa hal itu merupakan permintaan dari orang tuanya. Aku yang memang tidak terima tetap tak bisa berbuat apa-apa.
Dengan luka hati yang belum mengering, aku menahan air mataku agar tak luruh. Dalam hati ini, aku kembali memantapkan prinsip untuk tak berurusan dengan perasaan atau hal-hal yang berbau asmara. Akan tetapi, bayang-bayang Alvin terus menari dalam kepalaku, membuat diriku merasa sulit untuk beralih.
"KLEEKK.." Suara pintu penumpang di bagian belakang pun dibuka oleh supir yang bertugas. Laki-laki yang berusia sekitar empat puluh tahunan itu berujar dengan nada tak ramah, "Turunlah. Sudah sampai di tujuan."
Aku pun menuruti perintah dari supir tersebut. Setelahnya, aku melangkah, memasuki rumah dengan gontai. Kehancuran hati dan kepercayaan yang sejak lama ku hindari sungguh membuat semangatku untuk melakukan apa pun hilang.
"Lho, Ve? Kamu habis dari mana?? Kok baru pulang??" Suara dari wanita yang sangat ku hormati terdengar jelas olehku. Bersama dengan beragam pertanyaan itu, air mukanya memancarkan kecemasan terhadapku yang tampak bermata sembab dan lebih lesu dari biasanya.
Aku hanya diam dan memasuki kamar seraya menutup pintu. Bukannya aku ingin kurang ajar pada orang tua sendiri, tapi hati ini masih belum bisa menerima kenyataan setelah merasa yakin akan bahagia saat memulai suatu hubungan.
Dengan rasa sesak dalam dada, ku baringkan tubuhku di atas kasur. Kedua mata sembabku turut menemani di sela menyiratkan rasa kecewa yang teramat mendalam.
"Aku tahu akhirnya akan begini. Harusnya, aku engga pernah kenal atau terima keberadaannya," ujarku dalam hati seraya menatap lurus pada langit-langit kamar putih dengan satu lampu neon terpampang di tengah.
Kemudian, ku pejamkan kedua mataku perlahan. Tak lupa, aku menghirup napas cukup dalam perlahan sembari mengemas peristiwa yang terjadi hari ini dalam memori. Setelahnya, ku embuskan perlahan seraya berbisik pada hati kecil agar mau merelakan secara perlahan.
***
Alvin Pov"CKLEEKK.." Papa memutar knop pintu kamarku yang sudah lama ku rindukan.
"Welcome home, my boy!" Papa membuka pintu seraya mengembangkan senyum dan menatap diriku yang cukup terkejut dengan perubahan interior yang terjadi pada kamar yang biasanya ku gunakan untuk melepas penat usai beraktifitas.
Lalu, beliau kembali berujar, "Gimana? Kamarmu udah rapi 'kan?"
Ucapan tersebut tak berbuah balasan dariku. Aku malah langsung masuk ke dalam kamar dan meneliti setiap hal berubah di dalamnya. Meja belajar yang biasanya terletak di pojok kanan ruangan kini berganti menjadi mini bar yang berisikan beberapa camilan dan minuman ringan.
Kemudian, aku juga mendapati sisi kanan yang kosong dari kasur berukuran king size yang biasa ku gunakan untuk beristirahat di malam hari. Biasanya sisi itu ku gunakan untuk mengumpulkan sejumlah hasil lukisan. Akan tetapi, kanvas-kanvas tersebut tak berada di tempatnya. Papa sungguh membiarkan Rolly selaku kepala asisten rumah tangga menyingkirkan karya-karya seni yang ku toreh dengan susah payah.
"Benar-benar tidak pernah menghargai hasil kerja keras orang lain! Kenapa mama mau nikah sama orang yang engga punya hati kaya papa??" Aku menggerutu dalam hati sembari melirik potret wanita yang sudah genap 2 tahun meninggalkan diriku.
Lalu, aku kembali mendengar papa bersuara, "Daripada kamarmu jadi kaya kapal pecah gara-gara lukisan yang engga ada artinya, mendingan gini 'kan."
Aku hanya bisa melayangkan tatapan kesal dan masih terdiam. Bukan karena aku menerima hinaan dari kepala keluarga yang ku segani, melainkan aku menepi sembari memikirkan jalan keluar atas semuanya.
"PUK..PUK.." Papa juga menepuk bahuku perlahan dan berkata, "Istirahat lah. Puaskan dirimu bermalas-malasan malam ini karena besok kamu mulai sibuk."
Dengan diam yang setia mengunci bibir, aku mengangguk pelan. Mungkin, aku terkesan seperti anak yang kurang hormat terhadap orang tua jika seperti ini. Namun, aku terdiam karena masih tak sanggup merelakan apa yang sudah ku usahakan selama berbulan-bulan.
Apalagi, kalau soal hubungan yang terbilang serius, aku juga jarang terlibat di dalamnya. Baru kali ini, aku merasakan hal berbeda saat bertemu dengan Velove. Bahkan, kalau papa tidak menghalangi seperti ini, aku memiliki rencana untuk mengenalkannya dan bermaksud untuk melangkah ke tahap yang lebih serius.
Aku tahu hal itu pasti ditentang oleh papa. Beliau selalu mendambakan menantu yang berkaitan dengan urusan bisnis dan pastinya dapat menguntungkan perusahaannya secara besar-besaran. Beliau tak pernah berpikir tentang perasaan dalam sebuah hubungan sehingga memiliki kesulitan dalam memahamiku sebagai seorang papa.
Usai berlalunya papa dari kamarku, aku duduk di tepi kasur dan kembali teringat pada ekspresi wajah Velove di berbagai waktu. Tanpa terasa, kedua mataku berkaca-kaca bersama dengan jemari pada tangan kananku yang meremas sprei pelan.
"Aku akan kembali, Ve. Aku akan usahakan semuanya dari awal. Kalau aku harus kejar kamu lagi, aku engga masalah. Yang penting, kita bisa bersama," ucapku dalam hati.
Beberapa menit kemudian, aku bersandar pada headboard sembari merogoh saku celanaku, mencari keberadaan ponsel yang senantiasa menemani jika sedang bosan.
"Lho? Kok saku celanaku kosong??" Aku bergumam pelan dan sedikit panik saat mendapati kosongnya saku celana yang biasa ditempati oleh benda pipih buatan Negeri Ginseng.
Di saat yang sama, aku teringat saat papa memerintahkan Ethan untuk mengantar Velove pulang, satu dari anak buah papa merogoh saku celanaku saat aku sedang meratapi kepergian Velove dari balik jendela ruang tamu.
"ARRRGGGHH!!" Aku menggeram pelan. "Kenapa bisa aku lengah? Mana di ponsel itu aja aku bisa stalking Velove dari kejauhan. Papa pasti sengaja ngelakuin ini!" Aku mengeluh sembari memukul-mukul kasur pelan.
TO BE CONTINUED..
Selamat berakhir pekan. Tuan Muda Alvin sudah kembali, gimana? Udah siap liat warna konflik lain dalan cerita ini??
KAMU SEDANG MEMBACA
My First and Last [COMPLETED]
RomanceVelove, wanita workaholic yang sulit percaya akan cinta, menikmati status singlenya tanpa terpikir akan melabuhkan hati pada seorang pria. Hal itu membuatnya disindir oleh keempat sahabatnya. Label pemilih dalam hal pasangan pun disandangnya. Hingga...