Alvin yang mendengar kesepakatan meluncur dari bibir sang papa menatap gusar. Ia memicingkan kedua matanya dan menawar, "Apa engga ada tawaran lain? Kenapa harus hubunganku dan Velove yang dikorbankan??"
"Engga ada jalan lain. Papa engga begitu setuju sama pilihanmu," tekan Adrian dengan tatapan dingin.
"Papa tega ternyata," ucap Alvin dengan kedua mata berkaca-kaca. Ia benar-benar takut jika hubungannya dengan Velove harus berakhir dengan terpaksa.
"Lho, papa lakuin ini untuk kebaikan kamu ke depannya, Vin. Kamu belum benar-benar memahami pengaruh seorang wanita dalam hidup dan kesuksesanmu," terang Adrian dengan tatapan yang masih dingin, memancarkan keseriusan yang tak main-main. Ia berharap jika putra kesayangannya itu bisa memahami maksud dan egonya.
"Tapi, engga semua hal bisa sesuai dengan keinginan papa, termasuk dengan siapa aku menjalin hubungan. Bukannya aku juga punya hak untuk menentukan?" Alvin menyatakan fakta yang membuat rahang sang papa semakin mengeras, tak terima.
Namun, perlawanan tersebut tak membuat Adrian mundur dari pendiriannya yang terkenal teguh bagai batu karang meski diterjang badai. "Dan kamu engga takut kalau nyawa Velove melayang hanya karena kamu melawan papa? Kamu lupa Velove sedang berada dalam situasi yang seperti apa sekarang?" Pria dengan harta dan wibawa yang pekat itu kembali menekan putranya secara bertubi, berharap Alvin bisa tunduk kali ini dan mau menurut.
Alvin mengalihkan pandang dan membuang napas kasar. "Beri aku waktu 2 hari untuk menentukan keputusan yang tepat," sambungnya.
"1x24 jam. Kalau kamu terlambat kasih jawaban, papa akan lakukan sesuatu ke Velove, dan kamu akan menyesal!" Adrian mengijinkan putranya berpikir sejenak seraya mengancam.
Alvin hanya bisa melempar pandangan sekilas tanpa berkata-kata. Rasanya kesal jika diatur dan ditekan seperti saat ini. Ia seakan terkungkung oleh kekuasaan papanya sendiri yang semestinya memberikan kebebasan sebagai orang dewasa pada umumnya. Akan tetapi, hal itu sungguh mustahil terjadi, mengingat Adrian adalah sosok orang tua yang otoriter dan perfeksionis.
Setelah berdebat cukup lama, Alvin pun memutuskan untuk kembali ke apartemennya dengan perasaan gelisah tak karuan bercampur gamang. Sembari meneguk bir kaleng yang baru saja dibukanya, ia terus mencari cara agar hubungannya dengan Velove tak berakhir begitu saja.
"Aku benci situasi seperti ini. Ingin bertahan, tapi nyawa Velove yang melayang; kalau putus, aku sudah tidak bisa lagi menemuinya dan harus fokus pada perusahaan. Fatamorgana apa ini? Sungguh sulit untuk direalisasikan salah satunya," ujar Alvin dalam hati sembari menatap langit-langit ketika bersandar dan duduk di sofa.
***
Di hari berikutnya, tepatnya di salah satu ruangan pada rumah kediaman Keluarga Leonard, Ethan menyerahkan sepiring makanan pada Velove dan berujar, "Makanlah. Menghadapi kenyataan juga butuh tenaga."Velove menatap orang suruhan Adrian itu dingin tanpa berkata-kata. Ia memang kehilangan selera makan sejak kemarin, mengingat hubungannya dengan Alvin sedang diguncang oleh masalah yang serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
My First and Last [COMPLETED]
RomanceVelove, wanita workaholic yang sulit percaya akan cinta, menikmati status singlenya tanpa terpikir akan melabuhkan hati pada seorang pria. Hal itu membuatnya disindir oleh keempat sahabatnya. Label pemilih dalam hal pasangan pun disandangnya. Hingga...