Sekian menit dan detik berlalu. Setiap momen yang menghampiri menorehkan kesan dalam pikiran dan memori. Hingga akhirnya tiba lah malam hari yang menyatukan Adrian dan Alvin di meja makan.
Keduanya sedang fokus menyantap hidangan yang tersaji. Di sela kegiatan tersebut, Adrian teringat akan tawaran Rama dan mulai membahasnya dengan sang putra semata wayang.
"Vin, kamu engga kepikir buat pacaran lagi?" Adrian membuka percakapan dengan mimik wajah yang memancarkan antusiasme dan harapan yang positif.
Alvin mengunyah makanannya perlahan sembari memotong lauk dengan sendok dan menanggapi, "Belum. Hatiku masih membiru, mana mungkin terpikir untuk pacaran lagi."
"Kamu ini!" Adrian mulai mengomel dengan nada kesal.
Kemudian, Alvin meletakkan sendok dan garpu pada piring yang tak lagi tersisa makanan dan menanggapi, "Hatiku yang membiru juga hasil dari keputusan papa yang egois."
Adrian yang mendengar ujaran menyakitkan itu hanya bisa mengeram tangan kanannya dan mengapit bibir dengan mimik wajah kesal. Ia tak pernah membayangkan jika putra kesayangannya akan segalau ini usai memutuskan hubungan secara paksa dengan wanita yang bernama Velove.
Di saat itu juga, selera makan Alvin pun berkurang. Ia beranjak dari kursi dan berdiri serta melangkah menjauh, meninggalkan sang papa seorang diri termenung dengan beragam asumsi.
Namun, sebelum pria bertubuh tegap dan tinggi itu menapakkan kaki pada anak tangga pertama, Adrian menoleh dan berujar dengan sedikit keras, "Jangan terlalu menutup hati. Besok, kita diajak makan malam sama Om Rama dan Jesslyn. Papa harap kegalauan hatimu bisa segera reda."
Alvin yang menghentikan langkah, tak berbalik badan atau pun menoleh. Ia berujar dalam pikirannya, "Makan malam apa lagi ini? Kenapa harus ada anaknya Om Rama yang bawel itu! Benar-benar mengganggu!"
***
Keesokan harinya, di pukul 17.30, Alvin dan Adrian berangkat menuju restoran yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam perjalanan, Alvin terus menekuk wajah tampannya sembari berfokus pada jalan raya dan menggenggam kemudi.Adrian yang menyadari mimik wajah sang putra berkomentar, "Kenapa wajahmu terus kusut seperti itu? Engga boleh begitu ya nanti waktu ada Om Rama sama Jesslyn."
Alvin tak menjawab pertanyaan Adrian langsung. Ia hanya berdeham dengan nada kesal, malas untuk berdebat dengan sang papa. Justru, ia mengeluh dalam hati, "Kalau aja ada yang menghalangi kegiatan makan malam ini, aku mungkin bisa kabur. Semoga aja, Om Rama sama anaknya berhalangan. Males banget kalau udah kaya gini. Ujungnya, pasti dijodohin."
Sekitar tiga puluh menit kemudian, mereka berdua pun tiba di restoran. Sebelumnya, mereka menghampiri pihak reservasi guna memastikan bahwa ada meja yang dipesan atas nama Rama Oktavian.
"Mejanya ada di ruang VIP satu. Mari ikut saya," ucap salah satu waiter yang merangkap sebagai petugas bagian reservasi. Ia pun melangkah mendahului Adrian dan Alvin untuk menuntun arah menuju ruangan yang dituju.
Tidak sampai lima menit, Adrian dan Alvin tiba di ruangan VIP yang menampilkan meja makan panjang yang terbuat dari kayu import dan berhiaskan taplak biru tua serta dua baris lilin yang menyala dan serangkai bunga mawar yang terangkai di tengah meja sebagai pusat dekorasi.
Namun, di ruangan tersebut, tak tampak sosok Rama dan Jesslyn yang berperan sebagai pemesan ruang VIP. Hal tersebut membuat Alvin mengurangi tekanan pada wajah tampannya yang kusut bagai kertas yang diremas.
"Hufftt, untung deh kalau mereka engga jadi dateng," gumam Alvin dengan suara kecil.
"Kamu ngomong apa, Vin?" Sialnya, gumaman kecil itu terdengar jelas oleh kedua telinga Adrian.
KAMU SEDANG MEMBACA
My First and Last [COMPLETED]
RomanceVelove, wanita workaholic yang sulit percaya akan cinta, menikmati status singlenya tanpa terpikir akan melabuhkan hati pada seorang pria. Hal itu membuatnya disindir oleh keempat sahabatnya. Label pemilih dalam hal pasangan pun disandangnya. Hingga...