Part 48

64 6 4
                                    

Di lain posisi, Velove yang baru saja selesai mencetak laporan penjualan, kini sedang mengaitkan tumpukan kertas tipis yang digenggamnya dengan paper clip. Lalu, ia juga membubuhkan tanda tangannya selaku pengawas laporan.

Kemudian, ia beranjak dari kursi kerja dan melangkah keluar dari ruangan. Higheels coklat yang dikenakannya terdengar kala dirinya menjejak di atas lantai keramik berwarna marmer. Dalam hitungan menit, ia memasuki elevator dan menekan tombol nomor 10, tempat ruang pimpinan bertempat.

"TING.." Bunyi yang dihasilkam oleh elevator terdengar jelas bersama dengan terbukanya dua pintu dari balok elektrik itu.

Velove dengan mimik wajah datar melangkah keluar dari elevator sembari menggenggam laporan dengan kedua tangannya. Setibanya di depan pintu direktur, ia mengetuk pintu perlahan, "TOKK..TTOOKK..TOOKK.."

"Masuk!" Suara tenor yang jelas bukan milik Pak Anton terdengar dari balik pintu.

"CKLEKK.." Velove membuka pintu perlahan. Kedua matanya pun disuguhi oleh kehadiran seseorang di balik meja kerja yang jelas bukan Pak Anton.

"P-pak Evan?" Velove sedikit terkejut saat mendapati putra bungsu dari Pak Anton itu duduk di balik kursi kerja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"P-pak Evan?" Velove sedikit terkejut saat mendapati putra bungsu dari Pak Anton itu duduk di balik kursi kerja.

"Ada yang mau ditanyakan?" tanya Evan dengan kedua alis terangkat dan tatapan dari kedua matanya yang hangat.

"Ah, engga, Pak. Saya cuman mau mengantarkan laporan ini," papar Velove sembari meletakkan setumpuk tipis kertas yang terikat dengan paper clip.

"Taruh aja di meja," titah Evan sembari mengulum senyum simpul.

Velove pun mengangguk pelan seraya menaruh laporan di atas meja kerja. Kemudian, ia melangkah menuju pintu dan menekan knop pintu ke bawah. Namun sebelum wanita berperawakan semampai itu berlalu, Evan menahan dengan memanggil namanya, "Ve!"

"Iya, Pak Evan?" Velove menoleh dan menatap Evan dengan ragu.

"Kamu nanti jam 12 engga repot 'kan?" Evan bertanya sambil menyimpulkan jemarinya yang ramping.

"Engga, Pak. Saya biasanya istirahat dengan rekan-rekan sejawat," jelas Velove.

Evan semakin melebarkan senyum simpul yang tersemat pada bibirnya. "Kalau begitu, temani aku makan." Pria dengan wajah tampan bak aktor Negeri Ginseng itu meminta dengan tatapan lembut tertuju pada lawan bicaranya.

"T-tapi, Pak.." Velove tergagap ketika mendengar permintaan dari Bos barunya itu. Ia merasa tak nyaman jika nantinya tertangkap basah oleh para sahabatnya saat keluar berdua dengan Evan.

"Kenapa, Ve?" Evan menatap Velove dari balik meja kerjanya.

"I-itu, saya engga enak sama Bapak. Mungkin, lain kali aja," ujar Velove, berusaha menolak sehalus mungkin.

"Engga enak kenapa?" Evan bertanya tanpa menarik kesimpulan terlebih dahulu. Sebenarnya, ia paham alasan dibalik Velove yang menolak ajakannya itu.

Velove mengalihkan pandangan dari Evan dan berpikir sejenak. Kemudian, ia beralasan, "Ehm, nanti banyak karyawan yang bergosip soal saya dan bapak. Bapak tahu 'kan kalau atasan dan bawahan keluar berdua pasti disimpulin dengan beragam gosip."

My First and Last [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang