18 - Pengalaman Baru

14K 1.1K 1
                                    

Tiga tahun yang lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tiga tahun yang lalu.

Pihak maskapai mengizinkan keluarga dekat---termasuk istri---pilot untuk melihat ruang kemudi pesawat. Namun, dalam keadaan parkir di apron, bukan pada saat bekerja. Inilah yang akan dilakukan Candra hari ini. Tiga hari setelah obrolan itu, Melisa ikut terbang bersama suaminya. Bedanya perempuan itu sebagai penumpang dan Candra sebagai pilotnya. Tentu saja Melisa memanfaatkan stand by ticket, yaitu tiket yang diperuntukkan untuk keluarga. Tiket tersebut bisa digunakan jika kursi penumpang masih tersisa.

Setibanya di sana, Melisa tidak langsung masuk ke gate. Ia menunggu Candra yang sedang cek kesehatan. Melisa pernah mendengar semua kru yang bertugas sebelum terbang harus diperiksa kesehatannya, seperti cek denyut jantung, ukur tensi, kesehatan mata, dan seorang pilot tidak boleh terkontaminasi obat satu jam sebelum terbang. Jika tidak lolos saat cek kesehatan, maka kru tersebut tidak diizinkan terbang.

Selanjutnya, Melisa dipertemukan dengan awak kabin yang bertugas. Candra tidak lupa memperkenalkan Melisa sebagai istri. Setelah itu, Melisa diajak pergi ke tempat parkir pesawat. Di tempat tersebut, ada beberapa pekerja sedang mengecek mesin pesawat.

"Ngapain kita ke sini, Mas?" tanya Melisa penasaran.

"Ngecek pesawatnya."

"Eh? Lha, itu udah banyak orang, kenapa Mas ikut cek juga?"

"Kan, aku yang bawa, bukan mereka. Kalau aku nggak tau apa-apa soal pesawat ini, gimana nasib penumpang nanti? Ini juga buat bahan briefing nanti."

Melisa membulatkan bibir. Ia pikir Candra tidak perlu susah payah terjun ke sini karena sudah ada orang lain. Namun, ini juga salah satu prosedur yang harus dilalui oleh seorang pilot. Kan, Melisa pernah mengatakan, lebih banyak tidak enak daripada enaknya. Butuh otak yang cemerlang untuk bisa menerbangkan pesawat.

Melisa tidak begitu paham dengan apa yang dilakukan suaminya. Yang jelas sekarang ini Candra berkeliling sembari meraba bagian pesawat, seperti sayap dan ekor, lalu berbincang dengan teknisi di sana. Melisa pun baru tahu kalau saat ini pesawat sedang diisi bahan bakar. Pantas saja ada selang yang menancap di bawah sayap pesawat dan terhubung dengan sebuah mobil tangki.

"Setelah ini aku mau briefing, kamu nggak boleh ikut. Mendingan kamu ikut penumpang lainnya dulu."

"Oke."

Keduanya berpisah. Melisa mengikuti prosedur penumpang pada umumnya. Ia duduk di ruang tunggu sampai terdengar pengumuman keberangkatan. Melisa mengikuti penumpang lain yang berbondong-bondong melangkah menuju gate. Tiba di kabin, ia disambut ramah oleh seorang pramugari yang tadi sempat berkenalan dengannya.

"Mbak Melisa dapat seat nomor berapa?" tanya pramugari itu.

Sebelum menjawab, Melisa membaca nomor kursi pada boarding pass. "32 D, Mbak."

"Oh, berarti seat Mbak ada di sayap kanan, di kursi sebelah kiri."

"Oke, terima kasih."

Melisa langsung mencari nomor kursinya. Begitu sudah ketemu, ia langsung duduk. Jangan heran jika dirinya mendapat tempat duduk di kelas ekonomi. Alasannya karena hanya kelas itu yang kursinya masih kosong beberapa. Tidak masalah. Toh, mau duduk di kelas bisnis atau ekonomi sama saja, Melisa berpacu antara hidup dan mati.

Ibu Negara - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang