Makan malam dengan formasi lengkap. Kebetulan Fyan tidak ada lemburan, jadi dia bisa pulang lebih awal. Menu makan malam ini cukup beragam. Ada jagung rebus, ayam kecap, oseng kangkung, dan nugget tahu. Ratna tidak mengerjakan semuanya sendirian. Ada Hartanto yang membantu meskipun baru saja pulang bekerja. Ruang makan tampak hangat karena diisi oleh celotehan Fyan.
Persis seperti yang pernah diceritakan Melisa, Candra melihat kedua orang tua Melisa tampak antusias mendengar cerita Fyan. Tidak ada interupsi, apalagi membicarakan prestasi. Mereka terlihat seperti teman dekat. Kasih sayang di antara mereka melekat. Benar-benar tidak ada sekat.
"Gimana perjalanan kamu selama dua hari ini, Candra? Ada masalah nggak?"
Suara perempuan di hadapannya memecah lamunan Candra. Kepalanya berusaha mencerna. Ini memang bukan kali pertama. Tadi saja dia juga mendengar saat Ratna bertanya pada Fyan. Pun sejak menikah, Melisa tak pernah berhenti bertanya seperti itu ketika dirinya pulang. Namun, entah mengapa ketika Ratna yang bertanya ... hatinya membuncah. Ada sesak dan haru di dalam sana. Sarina tidak pernah begini. Setiap kali pulang, ia selalu dijejali dengan tuntutan seperti 'kenapa kamu pulang sekarang?' atau 'kenapa kamu transfer ibu cuma segini?' atau yang paling parah 'ibu mau beli ini, harganya segini. Uang ibu kurang. Kamu bayar sisanya, ya.'.
Melihat suaminya tidak merespons mamanya, Melisa yang duduk di samping lelaki itu menyenggol lengan Candra seraya berkata, "Mas!"
Candra mengerjap-erjap. Tersenyum kikuk. Bukan saatnya mengingat Sarina. Ia segera mengusir perasaan canggung itu. "Lancar, Ma. Nggak ada masalah."
Ratna tersenyum. "Oh, syukurlah. Mama itu kadang suka khawatir kalo kamu pergi. Kan, beberapa bulan yang lalu ada itu kecelakaan pesawat. Mama ngikutin beritanya terus sampai disuruh berhenti nonton TV sama Papa."
"Ya, habisnya Mama kalau lihat berita itu suka dipikirin. Mendingan liat yang bagus-bagus," balas Hartanto.
"Tapi, Mas Candra keren, lho, berani menghadapi risiko, bisa melawan rasa takut. Aku naik pesawat sekali aja udah gemeteran, badan kaku semua. Habis itu kapok sampai sekarang." Fyan ikutan bersuara.
Hartanto menanggapi ucapan Fyan. "Karena sudah biasa. Terus salah satu syarat jadi pilot nggak boleh takut ketinggian, betul nggak?"
"Iya, Pa."
Melisa jadi ingat kejadian turbulensi parah saat pergi ke Bali. "Aku pas ke Bali kemarin kena turbulensi gara-gara pilotnya sakit pas terbang. Untung ada Mas Candra yang bisa gantiin pilot itu. Terus kita mendarat darurat, apa namanya, Mas?"
"Return to base," jawab Candra.
"Kenapa harus mendarat darurat, Mas?" tanya Fyan.
"Karena pesawat yang ditumpangi itu ternyata ada gangguan pada sistem, terus dari non teknisnya, pilot mengalami sakit dan harus segera diberi tindakan. Karena jarak pesawat dengan bandara keberangkatan masih dekat, saya memutuskan untuk RTB. Itu nggak bisa dilakukan sembarangan, harus diskusi antara pilot dengan awak kabin, antara pilot dengan ATC, serta pilot dengan pihak perusahaan beserta staf darat di bandara."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu Negara - [END]
RomancePertengkaran antara Melisa dengan ibu mertuanya tidak dapat dihindari. Ya, maklum, masih tinggal satu rumah sama mertua. Apa saja bisa menjadi bahan keributan mereka. Sayang sekali, Melisa tidak mendapatkan pembelaan dari Candra---suaminya---karena...