Sakitnya semakin parah. Sudah lima hari Melisa benar-benar terkapar di kamar. Hampir setiap saat ia muntah-muntah hingga tidak ada satu pun cairan yang masuk ke tubuhnya. Tidak hanya mual muntah, kepalanya pun selalu nyeri. Terkadang matanya berkunang-kunang. Melisa tidak memberitahu kondisinya kepada Candra. Bahkan, panggilan video dari lelaki itu beberapa kali ia tolak. Melisa beralasan masih sibuk kerja, padahal aslinya rebahan di kasur.
"Lagi sakit itu banyak gerak, bukan malah tiduran di kamar! Jangan manja! Kamu pikir dengan tiduran sakitmu bisa langsung hilang?"
Yang paling menjengkelkan kalau sakit lalu tidak ada Candra ya ini, mulut tajam Sarina. Sepanjang hari wanita itu menyindirnya terus. Ini bukannya sembuh, malah membunuh secara perlahan. Apa mertuanya itu tidak berpikir kalau bisa bergerak, Melisa juga tidak mau di kamar terus! Lagi pula, yang membuatnya sampai sakit begini juga Sarina. Selama lima hari wanita itu mempersiapkan pernikahan untuk Candra dan Syakira. Melisa stres memikirkan bagaimana caranya mengatakan ini pada Candra.
"Mbak Mel, kan, nggak bisa makan, Bu. Mungkin badannya beneran lemes." Mbak Lala membela Melisa. Kondisinya sangat memprihatinkan begini, masa disuruh bangun. Sejak lima hari yang lalu, dirinya pula yang mengurusi Melisa.
"Ya, makanya itu, dia harusnya makan. Dipaksa kalo nggak bisa masuk. Begitu kalo dari kecil dimanjakan. Sekalinya sakit nggak bergerak. Manja!"
Mendengar keributan itu, Melisa menghela napas berat. Sungguh Sarina ini sebenarnya manusia apa bukan. Lagi pula, sekarang dirinya tidak sedang pura-pura sakit. Kepalanya benar-benar berat, perutnya perih sampai bibirnya kering begini, tenggorokan juga sakit. Apa tidak ada sedikit saja rasa empati di dalam hati mertuanya? Melisa benar-benar tidak bisa membayangkan seperti apa hidup suaminya selama bertahun-tahun ini.
Melisa akhirnya mencoba untuk bangkit dari tempat tidur. "Nih, aku udah bangun. Sekarang mau ke tempat kerja!"
Mbak Lala mengerjap tak percaya. "Mbak Mel ...."
"Udah, Mbak. Aku nggak apa-apa. Emang bener kata Ibu nggak boleh rebahan pas sakit."
Dengan tubuhnya sempoyongan, Melisa melangkah masuk ke kamar mandi untuk cuci muka. Setelah itu, ia merapikan rambut serta pakaiannya di depan ibu mertua serta Mbak Lala. "Tuh, lihat. Aku bisa, kan?"
"Mbak Mel ...." Lagi-lagi Mbak Lala nelangsa. Merasa tak mampu melakukan apa pun ketika sang majikan telah bersuara.
Sarina melengos, meninggalkan Melisa dan Mbak Lala. Melisa tidak berhenti, ia tetap memasukkan peralatan kerjanya ke dalam tas dan memakai sepatu.
"Mbak Mel beneran mau pergi?" tanya Mbak Lala pelan.
Melisa mengembuskan napas. Jujur untuk berdiri saja kepalanya berputar-putar. Ini malah mau keluar. Semoga saja tidak jatuh di jalan. "Beneran, Mbak. Lagian, di sini nggak boleh ada orang sakit. Harus sehat terus."
"Omongan ibu jangan dimasukin hati, Mbak."
"Udah telanjur masuk. Kalau di rumah terus, yang ada sakitku nggak sembuh, Mbak. Terus, aku nggak enak juga sama temen ninggalin pekerjaan terus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu Negara - [END]
Любовные романыPertengkaran antara Melisa dengan ibu mertuanya tidak dapat dihindari. Ya, maklum, masih tinggal satu rumah sama mertua. Apa saja bisa menjadi bahan keributan mereka. Sayang sekali, Melisa tidak mendapatkan pembelaan dari Candra---suaminya---karena...