61 - Cerminan Anak

12.6K 1.2K 29
                                    

Menjadi pembohong bukanlah keinginan Melisa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Menjadi pembohong bukanlah keinginan Melisa. Ia sangat terpaksa melakukan ini demi tercapainya impian. Ia terlalu takut Sarina menang, takut jika Syakira berhasil membobol pertahanan Candra. Namun, mendengar penuturan suaminya, Melisa mendapat secercah harapan. Kalau Candra berubah pikiran dalam waktu dekat, ia akan mengakui semuanya.

"Kita belajar sama-sama, ya, Mas. Aku, kan, bakal jadi ibu. Nah, ibu itu sekolah pertama anak-anak. Mas mau jadi orang tua yang kayak gimana?"

Pandangan Candra lurus ke depan. Tangan kirinya masih menyangga piring nasi yang tersisa sedikit. Sungguh, ia tak punya bayangan menyenangkan terkait sosok orang tua. Yang terngiang adalah tuntutan dan aturan dari Sarina. Tentang ayahnya, Candra bahkan sudah lupa bagaimana perlakuan ayahnya dulu.

Sejak mereka berpisah, ayahnya sama sekali tidak menunjukkan wajahnya. Jangankan bersua, menanyakan kabar via telepon saja tidak pernah. Candra sangat kehilangan, padahal saat masih ada ayahnya tidak lelah mendukung apa pun yang ia lakukan. Ia sedih melihat anak-anak lain yang orang tuanya masih lengkap.

"Mama kamu kesehariannya gimana?" Akhirnya Candra berani tanya seperti itu. Ia ingin melihat kehidupan orang tua lain dari sudut pandang Melisa.

"Mama ... kalau pagi, mama masak buat sarapan. Terus, waktu aku masih sekolah, mama nggak pernah lupa siapin keperluan buat sekolah, termasuk ngingetin aku ada PR apa nggak. Pulang sekolah, mama nggak pernah tanya aku dapat nilai berapa, yang mama tanyain bagaimana perasaanku di sekolah, kalau aku bilang ada yang nakal, mama langsung peluk aku. Kalau mau tidur, mama selalu sempatin ajak aku baca buku, terus selalu minta maaf dan peluk aku sebelum tidur. Waktu aku kuliah di sini, mama nggak pernah absen ngingetin aku makan, salat, sama ngingetin jangan begadang."

"Waktu kamu dapet nilai jelek, reaksi mama gimana?"

"Biasa aja. Mama selalu bilang 'nggak apa-apa, besok dicoba lagi'. Bahkan, dibantuin cari solusi mana yang salah."

Berbeda sekali dengan Sarina. Ibunya selalu marah kalau Candra mendapatkan nilai rendah. Pernah sekali ulangan matematika yang biasa dapat 100, lalu turun jadi 98, Sarina tidak terima. Padahal hanya turun dua angka dan besoknya dapat sempurna lagi. Tetap saja bagi Sarina, nilai tersebut termasuk cela. "Kamu nggak dihukum?"

"Ya, nggak, lah. Aku nggak pernah lihat mama hukum anak gara-gara dapet nilai jelek. Mama itu takut kalau keras, nanti anak-anaknya malah manipulasi nilai."

Tidak ada dalam sejarah baik Ratna maupun Hartanto menghukum anak-anak hanya karena dapat nilai jelek di sekolah, itu yang Melisa rasakan. Mereka tetap bangga apa pun hasil yang diperoleh anak-anaknya. Tidak ada tuntutan sama sekali selama sekolah atau dalam hal apa pun. Kata Ratna, yang penting sudah berusaha, mau dapat berapa pun kalau dari usaha sendiri akan indah rasanya.

"Kalau papa kamu gimana?"

"Papa itu laki-laki the best. Nggak pernah marah, nggak pernah mukul, nggak pernah ngomong kasar, sering kasih peluk. Setiap hari Minggu, selalu sempetin ajak anak-anaknya jalan-jalan. Setiap malam sebelum tidur, papa suka ajak kita duduk bareng, terus dengerin cerita kita satu-satu. Terus, papa selalu tunjukin kasih sayang ke mama, kayak kasih pelukan atau cium keningnya, dan itu dilakukan setiap saat, bukan pas mau berangkat kerja aja. Papa selalu minta pendapat mama dulu baru ke anak-anaknya. Kalau rumah masih berantakan, papa nggak protes ke mama, tapi langsung bantuin beresin. Papa jarang minta dibuatkan kopi meskipun mama lagi nganggur."

Ibu Negara - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang