Sebentar lagi pukul tujuh malam. Namun, Candra masih berada di dalam kamar. Memperhatikan Melisa yang masih sibuk mengecek barang bawaannya di dalam navbag."Oke, semua udah beres. Nggak ada yang belum masuk. Bekal yang aku bikin tadi jangan lupa dimakan!"
"Siap, Istriku!"
Barang yang paling diminati Candra saat terbang adalah kotak bekal dari istrinya. Dulu, ibunya yang rajin membuat, sekarang ada Melisa. Ya, sempat terjadi keributan karena ibu dan menantu itu ngotot membuatkan bekal. Sampai akhirnya Candra membuat kesepakatan dengan memberikan jadwal untuk Melisa dan Sarina. Walaupun memang masakan Melisa masih tergolong sederhana, bahkan bumbunya pun masih kacau. Namun, Candra tetap menghabiskan makanan itu sebagai bentuk menghargai perjuangan Melisa.
Candra mengulurkan dasi berwarna biru tua ke arah Melisa. "Tolong, dong."
"Lah, dari tadi ngapain aja sampai belum dipake?"
Sambil mulutnya komat-kamit, Melisa mengambil dasi itu, berdiri di depan suaminya, mengangkat kerah baju ke atas, menyampirkan tali dasi di antara lipatan kerah itu. Di saat seperti inilah yang paling disukai Candra. Ia bisa melihat wajah cantik istrinya, bisa mengendus harum tubuhnya, yang paling enak, sih, tangannya bisa nakal.
"Nanti kalau Ibu bahas istri kedua lagi, kamu nggak usah tanggapin, diem aja. Kalau kamu tanggapin entar kamu sendiri yang capek."
"Hem."
"Hari ini aku empat kali landing. Pertama ke Jakarta, terus ke Surabaya, balik lagi ke Jakarta, baru ke sini."
"Hem."
Hanya jawaban itu yang didapat, tangan Candra mulai bergerilya di pinggang perempuan itu. Pertama, ia rengkuh agar makin merapat, lalu wajahnya mulai mendekat. Akan tetapi, bukan ciuman yang terjadi, melainkan rasa panas serta nyeri yang menjalar di lehernya. Otomatis, pelukan itu terlepas.
"Enak nggak Mas?" Sebelah alis Melisa terangkat. Dialah pelaku yang menyebabkan suaminya mengerang kesakitan. "Makanya kalau mau grepe-grepe itu tahu situasi. Udah jam berapa coba sekarang?"
Candra mengelus lehernya. "Kalo aku mati gimana?"
"Ya, aku jadi janda yang uangnya banyak."
"Kan, kamu yang bunuh aku. Ya, masuk penjara, dong."
Seketika Melisa mencebik. Sial, benar juga. Kalau Candra meninggal gara-gara dicekik tadi, Sarina pasti akan menuntut Melisa. Namanya ramai diperbincangkan. Padahal cuma perkara sepele.
"Mas, kalo misalnya calon istri kedua Mas lebih cantik dari aku, Mas bakal naksir nggak?" Entah kenapa Melisa tiba-tiba menanyakan itu. Habisnya, dia takut kalau ternyata perempuan pilihan mertuanya itu ternyata lebih cantik, terus Candra kesetrum.
"Semua yang aku inginkan itu ada di kamu, Sayang. Jadi, untuk apa aku melirik perempuan lain?"
Melisa yang lengah, dimanfaatkan oleh Candra. Laki-laki itu berani mencuri kecupan di bibir polos istrinya. Kali ini Melisa tidak protes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu Negara - [END]
RomancePertengkaran antara Melisa dengan ibu mertuanya tidak dapat dihindari. Ya, maklum, masih tinggal satu rumah sama mertua. Apa saja bisa menjadi bahan keributan mereka. Sayang sekali, Melisa tidak mendapatkan pembelaan dari Candra---suaminya---karena...