"Sebenarnya kamu sama ibu nggak lagi merencanakan sesuatu, kan?"Detik itu juga, Melisa merasa tubuhnya beku. Pertanyaan yang ia takuti akhirnya terdengar. Gugup? Jelas. Bujuk rayunya selama ini pasti mulai terbaca di mata Candra. Sudah dibilang, jadi pembohong bukan keinginannya. Karena kalau sudah bohong satu kali, akan muncul kebohongan berikutnya. Apalagi bohongnya ke orang cerdas, makin sulit untuk culas.
Haruskah sekarang Melisa berkata jujur? Kalau jujur sekarang, apa konsekuensinya? Candra marah sudah jelas biar bagaimanapun pasang IUD merupakan keputusan bersama. Yang Melisa takutkan, ia disuruh pasang KB lagi atau justru Candra berani pakai pengaman. Jadi sama saja, mau jujur sekarang atau nanti pun sama-sama ajur.
"Mas kenapa tanya begitu?" Sebisa mungkin Melisa memasang wajah normal. Seolah-olah pertanyaan barusan bukan sesuatu yang perlu ditakutkan.
"Aku cuma heran aja kamu kenapa tiba-tiba berubah."
"Ya, kalau itu Mas udah tahu juga alasannya. Bukan karena ibu, nggak mungkin, lah. Aku sama ibu nggak pernah akur, ya masa mau merencanakan sesuatu."
"Kamu pernah bilang 'Ibu nggak lupa, kan, kesepakatan kita'. Nah, itu maksudnya apa?"
Ya, Gusti. Sepertinya Candra punya kapasitas memori melimpah hingga mudah ingat detail kalimat istrinya padahal sudah lama. Salah Melisa kenapa waktu itu frontal. Apes.
"Yang itu udah lewat, Mas. Aku aja udah lupa," kilah Melisa.
Sunyi setelah itu. Melisa sedikit menyesal mengatakan itu, tapi mau bagaimana lagi. Apa gara-gara ini makanya Allah belum percaya kasih momongan?
"Kamu tau, kan, aku nggak suka dibohongi. Aku percaya sama kamu. Kamu tahu apa akibatnya kalau bohong."
"Iya, Mas, aku tahu," balas Melisa dengan nada rendah. Perasaan bersalah makin bercokol di dalam dada. Bahkan, membayangkan wajah Candra ketika tahu semuanya.
"Ya udah, nggak usah dibahas lagi. Kamu tidur lagi."
"Tapi, besok jadi ke rumah sakit, kan?"
"Iya. Sekarang kamu tidur, ya."
Melisa mengangguk. Ia mulai memosisikan tubuhnya di kasur sembari memeluk boneka panda. Matanya terpejam, tetapi kepalanya terus memikirkan hari esok. Hari di mana Candra akan mengetahui semuanya.
Waktu terus bergulir. Namun, Melisa masih pada posisi yang sama. Bahkan, Candra sudah berbaring dan tertidur pulas. Perempuan itu menggeser tubuhnya usai meletakkan boneka di dekat headboard. Menatap wajah suaminya dari jarak dekat. Mengabsen poni, alis, hidung, bibir, dan dagu menggunakan telunjuk. Senyumnya mengembang tanpa diperintah walaupun hanya sebentar. Melisa kembali teringat kesepakatannya dengan Sarina.
"Maaf, Mas. Aku nggak ada maksud mau bohong," gumamnya, lalu menghela napas. Ia raih tangan Candra. Menggenggamnya erat. Perlahan, Melisa dijemput gelap. Beralih ke alam mimpi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu Negara - [END]
RomancePertengkaran antara Melisa dengan ibu mertuanya tidak dapat dihindari. Ya, maklum, masih tinggal satu rumah sama mertua. Apa saja bisa menjadi bahan keributan mereka. Sayang sekali, Melisa tidak mendapatkan pembelaan dari Candra---suaminya---karena...