Pada waktu yang sama, Candra merasa sepi akibat Melisa sama sekali tidak membalas pesannya. Biasanya perempuan itu yang paling rajin bertanya. Entah sampai kapan Melisa akan mendiaminya. Semua karena kesalahannya. Ia tidak mungkin memaksa Melisa memaafkannya dalam waktu cepat. Dua landing berhasil dilalui meski pikiran sedang terbagi.Yang membuatnya sedikit tenang, Melisa tidak membahas perpisahan lagi. Candra meyakini ucapan Melisa tempo hari hanya emosi sesaat. Setidaknya ada sedikit cahaya untuknya. Ia akan terus memperjuangkan Melisa. Mengganti semua luka itu dengan suka. Bersama anak mereka tentunya.
Candra tersenyum melihat penumpang hilir mudik bersama anak-anaknya. Benar-benar membayangkan dirinya berada di posisi mereka. Membayangkan bagaimana tangisan anak itu mampu menghalangi langkahnya. Membayangkan bagaimana tangan mungil anak itu menghalau tubuhnya. Membayangkan celoteh riang anak itu menyambutnya ketika pulang.
Indah. Sungguh indah. Candra akan terus menumbuhkan perasaan bahagia itu. Menyingkirkan ketakutannya secara perlahan.
Lagi-lagi Martin yang menemaninya. Pria itu tampak lebih ceria dari biasanya. Penyebabnya adalah penerbangan ini merupakan tugas terakhirnya sebelum menikah. Martin sangat bersemangat menyelesaikan pekerjaan ini.
"Mulai tahun depan, setiap kali saya pulang akan disambut oleh istri tercinta. Bagaimana rasanya, Capt?"
"Menyenangkan," jawab Candra. Pikirannya melayang membayangkan Melisa. "Apa lagi kalau pulangnya malam."
Mata Martin melebar. Menggaruk tengkuk karena salah tingkah. "Capt, jangan membuat saya membayangkan yang iya-iya."
Mulut Candra terbuka lebar hingga menampilkan gigi putihnya. "Memang kenyataannya seperti itu. Kamu pasti senang. Cuma kalau kalian sedang bertengkar, beda lagi."
"Oh, seperti Captain waktu pulang dari Sidney itu?" tanya Martin. Candra mengangguk.
"Tapi istri Captain luar biasa. Saya nggak heran kalau Captain setia."
Hati Candra terperangah mendengar pujian itu. "Iya, dia memang luar biasa."
"Saya jadi membayangkan jika sudah menikah lalu punya anak. Bukan hanya istri yang menyambut saya, tapi anak-anak juga."
Lagi, Candra termangu. Rasa penasaran mulai menggelitik perutnya. "Kamu ingin punya anak?"
Martin memutar pulpen. "Tentu saja! Saya ingin punya keturunan."
"Kamu nggak takut dengan kehadirannya?"
"Kalau dulu mungkin iya. Dari kecil saya hidup bersama ibu. Ayah saya pergi entah ke mana. Ibu kesulitan menghidupi saya dan adik. Pada saat itu saya tidak mau punya anak karena tidak mau anak itu akan merasakan hal yang sama."
Martin mengambil jeda karena tangannya masih sibuk mengumpulkan kertas. Sementara itu, Candra menunggu. Ia memang sudah mendengar cerita keluarga Martin, tetapi baru dengar soal Martin yang tidak ingin memiliki anak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu Negara - [END]
RomansaPertengkaran antara Melisa dengan ibu mertuanya tidak dapat dihindari. Ya, maklum, masih tinggal satu rumah sama mertua. Apa saja bisa menjadi bahan keributan mereka. Sayang sekali, Melisa tidak mendapatkan pembelaan dari Candra---suaminya---karena...