Setelah satu jam puas di pantai, Melisa dan Candra memutuskan untuk kembali menaiki tebing. Ternyata naik lebih berat daripada turun tadi. Melisa berkali-kali berhenti lantaran lututnya sakit. Napasnya juga tersendat. Sayangnya sebelum naik, ia lupa membeli minuman untuk cadangan. Saat isi tumbler ludes di tengah perjalanan, Melisa tidak bisa minum lagi.
Panasnya cuaca siang ini membuat Melisa berkeringat. Harus mandi lagi kalau sudah tiba di villa.
"Masih capek?" Candra masih setia menunggu istrinya. Ya, kalau ditinggal, Melisa tidak segan melemparnya ke laut.
Melisa menyeka keringatnya. "Capeknya nggak sebanding sama capeknya ngadepin ibu, Mas."
Ah, sebenarnya tidak pantas berkata seperti itu. Kalau mau adu nasib, Candra yang lebih menderita karena dari kecil mendapatkan perlakuan ajaib dari ibunya. Kalau Melisa, kan, baru tiga tahun, belum apa-apa.
Ngomong-ngomong bagaimana kabar mertuanya sekarang? Apa sedang ketar-ketir karena ponsel anaknya mati? Melisa jadi membayangkan wajah garang Sarina yang ditekuk. Nanti kalau sudah tiba di rumah tinggal bilang saja tidak ada sinyal di sini.
"Ayo, kugendong."
"Eh?" Melisa berkedip. Tawaran yang menarik sebenarnya, tapi ini tebing masih tinggi. "Ini masih jauh, lho, Mas. Kalo capek gimana?"
"Kalau capek, ya, berhenti. Ayo, naik ke punggungku!"
Dapat tawaran gratis, tidak ada salahnya untuk diterima, kan? Melisa segera melompat naik ke punggung suaminya, mengalungkan tangannya di leher. Setelah posisinya baik, Candra mulai berjalan sembari berpegangan pada pembatas.
"Berat nggak, Mas?"
"Nggak. Aku kayak lagi gendong kapas."
"Heh!" Spontan Melisa memukul bahu Candra.
"Jangan kayak gitu. Nanti kita jatuh!" tegur Candra. Kakinya berhenti sejenak untuk mengatur napas, lalu jalan lagi. "Kamu beneran enteng, Sayang. Bobotnya berapa, sih?"
"Terakhir aku timbang 41, Mas." Melisa berkata jujur. Sungguh mengenaskan angka timbangannya akhir-akhir ini. Padahal makan banyak. "Makanya Mas, hamili aku biar badannya gemoy," lanjutnya.
"Masih ada cara selain hamil, Sayang."
Melisa meringis. Ya, memang betul ada cara lain, tapi Melisa maunya dihamili. Titik.
Semoga saat ini para benih cinta dari Candra semalam sedang berperang hingga tidak perlu menunggu sampai dua bulan.
Empat puluh lima menit kemudian, mereka tiba di atas. Melisa langsung turun dan berinisiatif mengajak Candra makan siang. Kebetulan di dekat parkiran ada restoran. Melisa memesankan ikan bakar dan nasi untuk suaminya, sementara untuknya memesan mi.
Begitu pesanannya datang, Melisa langsung melahapnya tanpa menunggu dingin. Setelah naik-turun tebing, butuh isi bensin. Barusan saja ia habis dua botol air mineral. Dalam hitungan menit, mangkuk Melisa kosong. Isinya sudah pindah ke perut. Namun, Melisa belum puas. Ia kemudian memanggil pelayan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu Negara - [END]
RomancePertengkaran antara Melisa dengan ibu mertuanya tidak dapat dihindari. Ya, maklum, masih tinggal satu rumah sama mertua. Apa saja bisa menjadi bahan keributan mereka. Sayang sekali, Melisa tidak mendapatkan pembelaan dari Candra---suaminya---karena...