51 - Laut, Senja, dan Kamu

14.6K 1.1K 16
                                    

Setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya Melisa dan Candra kembali memasuki pesawat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya Melisa dan Candra kembali memasuki pesawat. Keduanya sudah duduk di kursi masing-masing. Saat lepas landas pun berjalan mulus. Walau tetap saja Melisa merasa panik dan takut ada kejadian serupa ketika badan pesawat telah naik ketinggiannya.

Terlalu memikirkan itu, sampai-sampai perut Melisa melilit, kepalanya pusing, dan muncul keringat dingin pada telapak tangannya. Ia baru sadar setelah makan tidak minum obat anti mabuk perjalanan. Melisa mencoba menahan gejolak itu dengan memejamkan mata, barangkali dengan tidur tidak jadi muntah. Namun, tidak berdampak apa-apa. Yang ada sakitnya bertubi-tubi. Akhirnya, Melisa memilih melepaskan sabuk pengaman dan bangkit.

Candra yang menyadari pergerakan istrinya lantas bertanya, "Mau ke mana?"

"Ke toilet."

Setelah itu, Melisa melangkah cepat menuju toilet yang letaknya cukup jauh dari seat-nya. Beruntung toilet dalam keadaan kosong. Melisa tahu dari tanda hijau di langit-langit pesawat dan di bawah tulisan 'lavatory' yang letaknya di pintu toilet. Melisa segera masuk dan mengunci pintunya. Barulah setelah itu, ia mengeluarkan isi perutnya di wastafel.

Di rasa sudah tidak ada lagi yang dikeluarkan, Melisa membuka keran untuk membersihkan mulut sekaligus muntahan yang tercecer di wastafel. Ya, meski berhasil muntah-muntah, kepalanya masih pusing dan badannya terus mengeluarkan keringat dingin. Sayang sekali tasnya tertinggal di kursi. Padahal di dalamnya ada  minyak angin yang bisa meredakan sakit kepala.

Terpaksa Melisa keluar dalam keadaan mengenaskan. Sama sekali tidak menoleh ke arah kursi penumpang lain.

Kedatangan Melisa membuat sang suami mengalihkan pandangannya dari jendela. Matanya melebar melihat wajah Melisa yang memucat.

"Kamu kenapa, Sayang?"

Dengan badan lemas, Melisa duduk di kursi. "Aku mabuk, Mas."

Oke, Melisa akui jarang melakukan perjalanan jauh, apalagi melalui jalur udara. Tidak seperti Candra yang berkali-kali naik pesawat. Cuma malunya itu, lho. Masa, sudah besar masih muntah-muntah di perjalanan.

"Kamu bawa minyak angin nggak?"

Melisa mengangguk. "Ada di tas."

Candra menggapai tas Melisa dan membuka kaitannya untuk mengambil minyak angin. Kemudian, ia mengoleskan minyak tersebut ke leher dan kening istrinya. Setelah itu, Candra meminta air teh pada seorang pramugari. Melisa hanya bisa menurut, yang penting pusingnya bisa hilang.

"Masih ada waktu 45 menit lagi, kamu mending tidur aja." Candra meletakkan tangannya di belakang supaya Melisa bersandar di bahunya. Lalu tangan satu lagi digunakan untuk memijat kening Melisa sampai matanya terpejam.

Pesawat mendarat mulus di landasan pacu bandara Ngurah Rai. Seluruh penumpang mengantre turun dan mengambil koper di bagian bagasi. Melisa tampak segar begitu keluar dari burung besi itu. Untuk perjalanan selanjutnya, Melisa terpaksa mengaktifkan ponsel karena sejak awal dirinya yang mengatur semua.

Ibu Negara - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang