33 - Usaha Jangan Kendor

12.1K 1K 12
                                    

"Di beberapa paragraf, aku ngerasa kamu terburu-buru mengekseskusi, padahal di bagian ini harusnya kamu bisa mainkan perasaan si tokoh perempuannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Di beberapa paragraf, aku ngerasa kamu terburu-buru mengekseskusi, padahal di bagian ini harusnya kamu bisa mainkan perasaan si tokoh perempuannya. Kan, ceritanya si ibu lagi manipulasi, tuh. Sebisa mungkin tunjukkan gimana reaksi tokoh perempuannya biar bab ini hidup."

Melisa mengetik deretan kalimat di layar yang kosong. Setelah itu, ia menggeser laptopnya agar Wawan bisa membaca tulisannya. "Coba kamu baca tulisanku yang ini, terus bandingkan sama punyamu."

Sesaat, suasana mendadak hening begitu Wawan membaca tulisan sang editor. Melisa memilih menyeruput es boba, tentu sebelum itu menawarkan Wawan minum dulu.

"Iya, Mbak. Jadi kelihatan sakit hatinya," ucap Wawan kemudian.

"Nah, kan. Cuma di bab ini, sih, kamu kayak kurang gitu. Bab-bab sebelumnya kamu aman."

"Mungkin pada saat itu pikir saya sedang terbelah, antara mikirin pekerjaan sama naskah ini. Makanya Mbak Mel merasa kurang. Berarti benar, ya, kalau mood itu mempengaruhi tulisan?"

"Iya. Kadang-kadang ada penulis yang memperbaiki mood-nya dulu sebelum nulis. Tapi, bukan berarti mood dijadikan alasan. Sebisa mungkin kendalikan perasaan kita."

"Begitu, ya. Makasih, ya, Mbak. Saya jadi tahu kesalahan saya. Ilmu dari Mbak akan saya gunakan di naskah selanjutnya."

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu mau jadi penulis? Padahal, kalau nggak salah pekerjaan kamu yang sekarang cukup menjanjikan."

Entah kenapa Melisa malah bertanya seperti itu. Kalau lihat Wawan, dia jadi ingat Candra. Dua lelaki ini mempunyai impian yang sama, bedanya Candra terpaksa menekan impian itu karena Sarina.

"Pertama, saya mau punya karya yang abadi, Mbak. Kedua, saya mau menyalurkan bakat. Soal uang, bukannya itu bonus? Saya tidak masalah dengan besaran nominal yang didapat."

"Keluarga kamu gimana? Ayah sama ibu kamu nggak masalah kalau kamu nulis begini?"

Wawan menggeleng. "Alhamdulillah, orang tua saya tidak mempermasalahkan apa yang saya lakukan, asal masih di jalur aman."

"Tapi, kan, ada yang bilang jadi penulis itu percuma, nggak dapet penghasilan apa-apa. Beda kalau kerja kantoran, gajinya jelas."

"Mungkin karena di negara kita penulis belum bisa disematkan di kartu identitas kita, makanya banyak pandangan miring soal pekerjaan ini."

Melisa merapatkan outernya, menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. "Bener juga, ya. Nggak heran kalau tingkat literasi di sini rendah banget."

"Masyarakat kita lebih suka melihat visual daripada tulisan, Mbak. Makanya banyak yang terjebak berita hoax, banyak juga yang nggak paham makna di balik sebuah tulisan."

Perempuan yang kini mengenakan warna serba krem itu mengangguk. Sangat setuju dengan pendapat Wawan. Suka, deh, sama penulis yang berwawasan, tidak hanya sekadar modal halu. Jadi, kalau sedang ada obrolan seperti ini, penulis dan editor jadi nyambung. Harusnya seperti itu. Editor tidak hanya mengkurasi naskah, tetapi menilai attitude penulis. Melisa tidak segan mengajak para penulisnya berdiskusi supaya tahu watak mereka.

Ibu Negara - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang