"Tuh, kan, aku bilang juga apa. Tes darah kamu menunjukkan hormon hCG kamu tinggi, terus kamu disaranin datang ke dokter kandungan. Kenapa nggak dari kemarin, sih, Mel? Ngeyel mulu, sih."Setelah tragedi jatuh pingsan di kantor dua jam yang lalu, Melisa saat itu terbaring di rumah sakit. Baru juga sadar, Inayah sudah mengomelinya. Padahal Melisa sedang mencoba mengumpulkan nyawa.
Sekarang yang bisa Melisa lakukan adalah menurut apa pun yang dikatakan Inayah. Tubuhnya dipapah Inayah menuju ruangan dokter kandungan. Kebetulan Dokter Indi praktik di sini, jadi Melisa tidak perlu susah payah menghubungi dokter yang biasa menanganinya.
Usai namanya dipanggil, Melisa dan Inayah masuk dan duduk di hadapan Dokter Indi. Melisa pun diperiksa bagian vital seperti tekanan darah, suhu tubuh, denyut jantung, dan berat badan. Setelah itu, Melisa membeberkan kondisi tubuhnya pada dokter perempuan itu.
"Kita lakukan pemeriksaan USG transvaginal, ya, Bu. Biar akurat."
Setelah Melisa setuju, ia pun diarahkan untuk berbaring di atas bed dengan posisi kedua kaki ditekuk dan terbuka lebar. Sebelumnya sudah pernah melakukan pemeriksaan ini. Tidak heran jika Melisa tahu bagaimana prosedurnya.
Tak lama kemudian, layar baik di depan Dokter Indi maupun di atas menampilkan isi dalam perut Melisa. Inayah yang berdiri di samping Melisa turut menyaksikan.
"Sudah ada kantung janin, ya, Bu. Ini detak jantungnya," kata Dokter Indi. "Usianya sembilan minggu. Selamat, ya."
"Hah?" Melisa membelalakkan mata. Tunggu-tunggu. Setahunya, pemeriksaan USG itu bisa mendeteksi usia kandungan, lebih akurat dari HPHT. Kalau sembilan minggu, berarti dihitung sejak ia lepas IUD itu. Liburannya kemarin benar-benar membawa hasil, dong?
"Tapi, Dok, saya pernah haid. Masa, bisa sembilan minggu?"
"Coba diingat-ingat lagi, yang keluar seperti apa? Kalau hanya flek dan tidak ada gumpalan, keluarnya hanya beberapa jam dan tidak banyak, serta tidak dibarengi kontraksi seperti menjelang haid, itu mamanya pendarahan implantasi, Bu. Perdarahan implantasi terjadi saat sel telur yang dibuahi atau embrio menempel pada lapisan dinding rahim."
Melisa menganga. Ciri-ciri yang disebutkan barusan sama persis seperti yang ia alami beberapa minggu yang lalu. Bodohnya kenapa saat itu Melisa tidak bertanya pada Dokter Indi. Tidak cari tahu juga lewat internet.
Selesai periksa, Melisa kembali duduk di kursi. Jujur sekarang ia bingung mendeskripsikan perasaannya. Ada senang dan takut di dalam sana.
"Saran saya sebaiknya Ibu bedrest dulu untuk sementara waktu. Jangan lakukan aktivitas yang berat dan jangan sampai stres. Kehamilan trimester pertama ini sangat rentan keguguran, apalagi Ibu sempat pingsan tadi. Saya resepkan vitamin sama obat pereda mualnya, ya."
Mendengar kata bedrest, Melisa langsung terbayang Sarina. Sakit begini saja ibu mertuanya sudah ceramah panjang lebar, apalagi kalau sampai harus bedrest. Melisa juga membayangkan hari-hari yang biasanya beraktivitas di luar lalu terpaksa harus berada di kasur. Ia tidak bisa menjamin dirinya betah. Apalagi kalau masih tinggal satu atap dengan Sarina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu Negara - [END]
RomancePertengkaran antara Melisa dengan ibu mertuanya tidak dapat dihindari. Ya, maklum, masih tinggal satu rumah sama mertua. Apa saja bisa menjadi bahan keributan mereka. Sayang sekali, Melisa tidak mendapatkan pembelaan dari Candra---suaminya---karena...