15. Cinta dan Benci

9.1K 1.4K 187
                                    

Jangan nyanyi 🥲

Oh iya, kalo ada typo boleh diingatkan xixi. Makasih 🥰

🤼‍♂️🤼‍♂️

Sudah beberapa menit, tapi kata ngobrol yang Salsa pinta tadi belum juga terlaksana. Padahal keduanya sudah duduk di kursi depan Bee Florist, dibatasi meja di tengah-tengah mereka. Albert mengerjap saat lagi-lagi ada pembeli melewati mereka, lalu tersenyum ke Salsa.

Serius, Albert baru tahu kalau sebagian besar pengunjung mengenal Salsa sebagai pemilik. Ia pikir itu hanya bentuk basa-basi, tersenyum melewati seseorang yang duduk santai tidak jauh dari pintu masuk. Meskipun sebenarnya Albert tidak pernah lihat ada orang berbasa-basi begitu. Misal saat ia duduk di bangku depan minimarket. Tidak mungkin kan seseorang asal menyapanya kalau tidak saling mengenal?

Dan Albert mendapat jawabannya. Saat seorang wanita paruh baya menghampiri Salsa, bahkan Salsa sampai berdiri seolah menyambut. Saling menyapa seolah teman lama beda generasi. Saat itulah Albert tahu bahwa peran Salsa tidak hanya sebagai bos, tapi lebih dari itu. Buktinya, banyak pembeli mengenal dengan baik.

"Kayaknya nggak bisa di sini," gumam Salsa seperti kebingungan, setelah kembali duduk. "Di mobil lo ada sopir?"

Albert mengangguk, meski tidak yakin Salsa melihat gerakannya atau tidak. Mereka duduk saling menyamping, dan Salsa kalau menatapnya tidak pernah lebih dari 5 detik. Mungkin ia terlalu menyakitkan ya kalau ditatap?

Atau mungkin Albert yang sekarang sudah berubah total dalam pandangan Salsa? Meski Albert tidak sering memuji dirinya sendiri, tapi ia jelas tahu pujian Salsa dulu yang seringkali terlontar padanya. Jadi bisa saja Albert yang sekarang lebih jelek dari yang dulu menurut pandangan Salsa kan? Sampai-sampai Salsa tidak sudi menatapnya lama.

"Di mana ya," gumam Salsa, setengah mengeluh.

Albert tidak mengatakan usul. Menunggu Salsa berpikir baginya kesempatan bagus untuk menunda kalimat perpisahan. Ia tahu tanda-tanda mau diusir sejauh-jauhnya sampai Mars sekalian.

"Atau di ruangan gue?" Lagi-lagi Salsa bergumam sendiri.

Sebenarnya Albert cukup terkejut. Tapi tidak ditunjukkannya ekspresi itu. Bisa dibatalkan begitu saja kalau sampai Salsa tahu bahwa keputusan tadi membuat hatinya sedikit berbunga-bunga. Berbicara lebih privasi dengan Salsa adalah keinginannya setelah kembali ke sini.

"Iya, di sana aja." Salsa memutuskan.

Benar kan, Albert hanya perlu diam. Kalau ia menunjukkan bahagianya, Salsa pasti langsung mendepaknya tanpa ngobrol. Meskipun ia tahu ujung obrolan ini akan berakhir apa.

"Atau di mobil gue nggak apa-apa, Sal." Albert pura-pura menawarkan. Aksi keberatannya mungkin membuat Salsa berpikir bahwa ia tidak suka kan? Padahal sih kebalikannya.

"Lo selalu bawa sopir. Dari dulu sampe sekarang nggak berubah," gerutu Salsa sambil berdiri.

Albert terkekeh pelan. Salsa sangat tahu hal itu. Sebenarnya sekarang ia sudah diizinkan membawa mobil sendiri sama papanya. Cuma karena tidak ada privasi yang begitu penting di mobilnya—lagipula ia sendirian juga—jadi Albert memilih opsi bawa sopir.

Beda kalau dulu waktu masih SMA. Papanya begitu ketat. Takut ia mengendarai sambil mabuk parah, atau malah dimanfaatkan teman cewek hanya karena tahu mobil jenis apa yang ia bawa sendirian. Ia dituntut sederhana saja saat masih sekolah. Makanya ia memilih pakai motor, itu pun motor matic biasa, biar bisa boncengan sama Salsa tanpa ada orang ketiga.

Nilai plusnya juga, saat Albert kembali ke Indonesia, orang tuanya tahu siapa yang pantas jadi sopirnya. Makhluk sejenis Joko. Karena dulu ia kerap takut dan terintimidasi tiap kali sopir berbadan kekar, bersuara rendah dan dalam cenderung geraman menakutkan, menemani harinya tiap berangkat dan pulang sekolah.

Terjebak Ex ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang