50. MATI!

7.1K 1.1K 175
                                    

Halo halooo. Maaf ya lama:(((((
Semoga masih ada yang nunggu. Selamat membaca :)

🤼🤼

Di sebuah rumah yang bak istana, mewah dan besar, sepasang suami istri sedang termenung lama. Ningrum baru saja menjelaskan semua hal yang terjadi di kantor milik keluarga Albert. Semua, tanpa kecuali. Karena sedari tadi tatapan suaminya seolah bisa mematikannya saat itu juga begitu menerima surat pemutusan kontrak beserta denda-dendanya.

"Perusahaan arsitek bukan cuma punya Pak Erwin, Pa." Ningrum masih berusaha membujuk kekakuan suaminya.

Langkah Ningrum pelan-pelan berpindah ke samping sang suami yang duduk di meja kerja. Diusapnya bahu pria itu dengan lembut. "Mati satu tumbuh seribu. Lagi pula beberapa bulan lalu bukannya perusahaan kita juga baru ada proyek dengan perusahaan Singapura yang punyanya—"

"Pak Andy? Iya?" Suara Wira meninggi.

Ningrum mengangguk.

"Apa Mama tau kalau Pak Andy itu suaminya Widya sekarang?"

Sampai di situ, Ningrum goyah. Seperti kehilangan pijakan, tubuhnya limbung. Wira tidak serta merta membantu istrinya. Kedua mata lelahnya mengarah intens pada Ningrum yang menggapai ujung-ujung meja dengan tangan sendiri.

"Mama kurang malu apa lagi sampai menjelekkan cucu kita di depan keluarga Pak Erwin?!" bentakan Wira terdengar keras sekarang. "Sejak pertama mobil kita tabrakan sama Salsa, Papa sudah tau itu cucu kita. Papa minta maaf saat itu juga, Papa tegaskan kalau Salsa sama sekali tidak bersalah. Kita yang salah, Ma. Mama kira Papa baru tau keberadaan Salsa dan Widya? Sudah dari lama, tapi Papa sembunyikan dari Mama."

Seperti mendapat kekuatan kembali, Ningrum berusaha berdiri tegak setelah dengar kenyataan dari suaminya. "Kenapa Papa sembunyikan dari Mama?"

"Mama masih tanya kenapa," desis Wira. Ia berdiri dengan tangan mengepal di sisi kanan kiri tubuh, menahan luapan emosi yang tidak pernah surut menghadapi istrinya ini saat berulah. "Mama pasti akan ganggu mereka. Iya kan?!"

Ningrum menunduk. Tidak berani membantah.

"Dulu Papa susah payah mengurus surat perwalian saat pernikahan Widya, karena Papa tidak mungkin berperan sendiri. Papa ikhlaskan keputusan dan kebahagiaan Widya bersama laki-laki pilihannya. Mama sudah berjanji tidak akan berurusan dengan Widya, dan Papa percaya. Biarkan mereka bahagia. Tapi apa yang terjadi? Mama justru tutup semua akses pekerjaan untuk suaminya Widya! Mama ingat itu, hah? Ingat bagaimana anak, menantu, dan cucu kita harus tinggal di kontrakan kecil padahal Papa yakin ketekunan suaminya Widya bisa membawa mereka lebih sukses dari kita. Gara-gara Mama semuanya ini!!!"

Ruangan kamar memang kedap suara dan Widya bersyukur karena pekerja di rumahnya tak perlu mendengar kericuhan ini. Tapi telinga Ningrum jelas menangkap seberapa besar emosi suaminya, terdengar dari bentakan tadi.

"Begitu Widya kembali ke sini, Mama malah nolak anak dan cucu kita. Kalau Papa ada di rumah saat itu, Papa yang akan usir Mama. Apa yang Mama katakan saat itu? Mama tidak sudi menerima Widya, dan Mama janji tidak akan ganggu hidup mereka lagi. Tapi Mama ternyata merencanakan hal agar suaminya Widya celaka dan meninggal, Mama ingat seberapa marahnya Papa?!"

"Kita cerai! Saya tidak mau punya istri keji yang bukan manusia seperti kamu!"

Iya, seperti itulah kalimat cerai pertama sepanjang pernikahan mereka selama puluhan tahun. Tapi Ningrum menangis sejadi-jadinya.

"Mama sudah janji juga tidak akan mengusik Widya dan anaknya lagi setelah itu," gumam Wira.

"Tapi Mama memang menepati janji, Pa. Mama tidak pernah mengusik mereka lagi sebagai syarat rujuk kita."

Terjebak Ex ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang