55. Kalian Pacaran?

6.9K 1K 232
                                    

Belum

TAMAT

kok :)

🤼🤼

"Albert? Lo ke sini?"

Kentara sekali teman SMA-nya dulu, Lista dan Alda namanya, terkejut melihat Albert sendirian berkunjung ke rumah Vira. Albert hanya mengangguk singkat mendapati dua orang yang dulu sangat dekat dengan Vira, tapi pada akhirnya saling menjauh sejak terkuaknya sifat manipulatif seorang Vira.

Albert tidak mau berbasa-basi lagi. Dalam perjalanan tadi, seluruh amarahnya seolah mengumpul di ubun-ubun. Semua campur aduk jadi satu. Senang, kecewa, juga marah.

"Saya mau ketemu Vira, Om." Albert menekan marahnya kuat-kuat. Ia tidak mau terlihat sedang menahan emosi dan berakibat tidak diizinkan menemui.

Benar saja, orang tua Vira berpandangan sebentar. Karena nada suara Albert seolah ditekan dan tak mau ditolak. Tidak sehalus terakhir kali saat berkunjung, tapi tak menunjukkan ekspresi kemarahan juga.

"Saya mau menjenguk Vira, Om, Tante," ulang Albert, kali ini lebih lirih. Meski gemuruh di dadanya tak juga berkurang. Semakin ditekan, justru akan meledak begitu sampai di hadapan Vira nanti. Albert tidak yakin bisa menahannya lebih lama lagi.

"Oh. Iya. Silakan." Papanya Vira mengulurkan tangan seolah mempersilakan menuju kamar yang terbuka.

Langkah Albert diusahakan setenang mungkin. Tangannya ia masukkan ke saku celana kerjanya, mengepal di dalam sana. Apalagi mendapati Vira duduk di kursi roda, menghadap cermin di hadapan.

Tanpa kata apa pun, Albert langsung masuk. Keberadaan Vira yang ada di meja rias tidak memungkinkan terlihat dari sofa ruang tamu. Hal itu dimanfaatkan Albert untuk tak lagi menahan luapan kemarahannya lewat eskpresi.

Mungkin Vira tersadar ada orang lain di kamar, kedua mata itu bergerak meneliti dari cermin. Tiap langkah Albert yang tegas menapak tanpa ragu. Vira merasakan hal berbeda dari tatapan itu. Kontan saja detak jantungnya bertalu kuat. Antisipasi akan hal yang ingin dilontarkan laki-laki—yang bahkan tak pernah ia dapati kemarahan menggelegaknya sejak dulu.

"Albert?" Vira berbalik setelah berhasil menguasai ketegangannya. Tangan kurusnya memutar roda hingga ia berhadapan dengan Albert. Masih tak berubah. Ekspresi dan gerak tubuh Albert belum pernah Vira kenal sebelumnya. "Lo ke sini lagi. Udah pertimbangin ucapan gue?"

Albert masih diam. Sungguh ia berusaha meredakan marahnya lebih dulu. "Ucapan yang mana? Semua ucapan lo nggak ada yang pantes dipertimbangin," ujarnya datar.

"Ucapan yang itu ...." Vira tersenyum sendu. Makin mendekatkan kursi rodanya ke Albert yang berpakaian rapi. Mungkin sudah bersiap ke kantor. "Yang ... kita tebus dosa sama-sama. Nggak apa-apa kalo lo mau nikah sama Salsa. Gue cuma pengin dijenguk sampai gue nggak ada di dunia ini."

"Ini kedatangan gue yang terakhir. Mau lo nggak ada di dunia hari ini juga urusan lo."

Kentara sekali Vira tersentak.

"Apa? Lo mau nangis?" sentak Albert sebelum Vira kembali menjawab dan malah meletupkan emosinya nanti. "Mau manipulasi semua orang dengan air mata lo? Sampai kapan, Vir?"

"Al, gue nggak akan nangis kalo itu mau lo." Mata Vira merebak, tapi kepalanya menggeleng kuat. "Gue tau lo tipe cowok yang nggak bisa lihat cewek nangis."

Astaga. Albert makin mengepalkan tangannya. Kini bukan lagi di dalam saku, namun di sisi kanan kiri tubuh. "Gue udah nggak bodoh, gue nggak bego. Lo itu perempuan baj—argh!" Ia frustrasi untuk melanjutkan.

Terjebak Ex ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang