Indra dan Satria memutuskan untuk mencari Mayang dengan cara masing-masing. Mereka menempuh jalan yang berbeda namun dengan misi yang sama.
Satria langsung tancap gas mencari Mayang di tempat yang dulu pernah mereka datangi. Sedang Indra, ia masih bingung harus mencari ke mana.
"Pa, apa Mayang ada di sana?"
Indra mencoba jalan pertama, menanyakan keberadaan Mayang pada William. Karena yang ia tahu, terakhir Mayang ada bersama William.
"Tidak. Kamu sudah menemui dia, kan, pasca kejadian malam kemarin?"
Indra hanya diam tidak menjawab pertanyaan William yang tersambung dari ponsel pintarnya.
"Kenapa Papa membiarkan Mayang sendirian?"
"Seharusnya pertanyaan itu buat kamu, Indra! Bukan buat Papa."
Tanpa ada penjelasan lebih lanjut pun, William tahu jika ada yang tidak beres dengan keadaan ini. Namun, ia lebih memilih diam dan mencari tahunya sendiri daripada bertanya pada anaknya.
Indra mematikan ponsel dan melemparnya ke bangku belakang. Ia sama sekali tidak tahu harus mencari istrinya ke mana.
***
"Ratri ...."
"Iya, Bu."
"Selama saya dirawat, apa Miss Mayang sering ke sini?"
Pertanyaan yang jawabannya sangat mudah, tapi Ratri sama sekali tidak bisa menjawabnya.
"Ratri! Saya sedang bertanya sama kamu!"
"M-maaf, Bu. Saya tidak ingin ikut campur urusan keluarga Ibu. Saya di sini cuma ART."
Intan memijat keningnya. Rasanya sungguh berdenyut-denyut. Ia mencium sebuah ketidak-beresan di sini.
Kembali ia menuju kamar. Pandangannya fokus pada benda kecil yang sedang Intan pegang. Sebuah bros kebaya yang ia yakini bukan miliknya.
"Apa yang sedang kamu sembunyikan dariku, Mas? Kamu mengajak tidur perempuan itu di kamarku saat aku terbaring tanpa daya di rumah sakit?"
Tak ingin Intan menuduh Mayang, tapi ia juga manusia biasa yang penuh prasangka. Apalagi soal suaminya. Bukankah insting seorang perempuan sangat kuat? Terlebih jika menyangkut pasangan.
***
Indra pulang dengan muka lesu. Pencariannya tidak menemukan hasil. Ia lelah. Ia tidak tahu lagi harus mencari Mayang di mana.
"Baru pulang, Mas?"
Indra tidak menjawab. Ia langsung membanting tubuhnya di sofa sambil memijat kepala yang serasa ingin meledak.
"Kopi sedikit gula kesukaanmu. Minumlah."
Diseduhnya kopi tersebut setelah sebelumnya mengecup singkat kening Intan.
"Makasih, Sayang."
Intan begitu ingin menanyakan perihal bros kebaya yang ia temukan di kamar mereka. Namun, melihat Indra yang begitu terlihat kusut, ia jadi maju mundur.
Tapi, rasa penasaran Intan mengalahkan segalanya. Ia tidak ingin terus-terusan hidup dalam kebohongan. Ia juga tidak mau berlama-lama menuduh Mayang yang bukan-bukan.
Ia harus menyelesaikannya sekarang.
"Mas," sapa Intan dengan hati-hati.
"Hm."
"Aku mau nanya sesuatu."
"Besok, ya. Hari ini aku benar-benar capek. Urusan kantor benar-benar bikin aku pusing," ucap Indra berkilah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Istri Siri
Художественная прозаMayang, seorang guru TK yang hatinya sudah menyatu dengan anak didiknya, Michael. "Miss Mayang, Miss mau, kan, jadi mamaku? Menikahlah dengan Papa, Mis!" Tanpa anak itu minta pun, Mayang sudah menganggap Michael sebagai anaknya. Hanya saja, jika unt...