Indra memegang kepalanya yang terasa berdenyut kencang. Ia menyadari jika yang barusan dilakukan adalah sebuah kesalahan. Bukan maksud Indra menyakiti Mayang. Ia hanya tidak mau privasinya diusik.
"Bagaimana aku bisa menjelaskan semuanya padamu, May?"
***
Tidak seperti hari kemarin. Meja makan ini begitu hening. Bahkan suara sendok yang beradu dengan piring pun serasa enggan berbunyi.
"May, maafkan saya."
Mayang hanya tersenyum. Lebih tepatnya, terpaksa tersenyum.
"Papa kok minta maaf. Memangnya Mama habis dijahatin Papa lagi?" Mic menyambar obrolan orang dewasa tersebut.
"Tidak, Mic. Papa kemarin tidak sengaja menghilangkan pensilnya Mama," jawab Mayang dusta.
Michael melirik Indra, seakan matanya bertanya, "Benarkah demikian?" Dan lelaki dewasa itu pun menganggukkan kepalanya.
Rasa bersalahnya kembali menyelinap. Bagaimana Mayang masih sudi membela Indra di depan anaknya? Jikalau Mayang mau, dengan mudah ia bisa mempengaruhi otak Michael untuk membenci Indra, tapi ia tidak melakukannya.
"Mic, kamu siap-siap, gih. Mama udah mau berangkat."
"Tidak. Saya yang akan mengantar kalian ke sekolah."
Michael menatap kedua orang tuanya bergantian.
"Tidak. Saya bisa pergi sendiri. Pak Indra berangkat saja ke kantor."
"Kenapa kamu begitu keras kepala, sih, May?"
"Lho? Saya memang sudah biasa berangkat sendiri, kok. Kalau memang Mas Indra tidak tega atau ragu dengan keselamat Michael, silakan antar Michael. Tapi saya akan tetap berangkat sendiri."
"Saya menghawatirkan kalian, May! Bukan cuma Michael."
"Khawatir? Terima kasih, tapi Anda tidak perlu menghawatirkan saya. Saya sudah terbiasa sendiri. Begitu juga dengan Michael. Bukankah selama ini Anda juga sering meninggalkan Michael sendirian di rumah?"
Mayang masih ingat betul perihal apa yang dikatakan Indra semalam. Mustahil jika kalimat setajam itu bisa ia lupakan hanya dalam hitungan jam.
"Kenapa Mama dan Papa bertengkar?"
Ah, mereka melupakan sesuatu. Tidak seharusnya mereka bertengkar di depan anak di bawah umur.
"Mama hanya tidak mau mengganggu waktu Papa. Papa kan sangat sibuk. Oh, iya. Kita sudah hampir telat. Michael mau diantar Papa, atau bareng sama Mama?"
"Sama Mama aja."
Setelah mendengar jawaban Michael, Indra langsung keluar rumah menuju garasi tanpa berpamitan dengan Mayang dan Michael. Sesaat kemudian, terdengar suara mobil dan hilang dalam hitungan detik.
***
Sebulan lebih, perang dingin di antara mereka belum juga mencair. Setiap Indra mau menuntaskannya, Mayang tidak pernah merespon. Begitu juga sebaliknya.
Ketika Mayang dengan seribu kata-kata yang sudah ia siapkan untuk menghadap Indra, Indra selalu menerima telepon darurat untuk segera datang dan Meninggalkan Mayang.
Sesibuk itukah Indra?
Namun, ada hal yang setidaknya membaik. Indra sudah tidak lagi meninggalkan Mayang dan Michael di hari minggu. Yaaa meski tetap seharian ia hanya berada di dalam ruang kerjanya tanpa mau menemani Michael bermain. Seperti hari ini.
[Bisa ke ruang kerja saya May?]
Satu pesan mendarat di ponsel Mayang. Sejujurnya, badannya sangat lemas. Ia malas menemui Indra. Tapi kembali lagi, sudah menjadi kewaiiban mutlak baginya untuk menghadiri panggilan suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Istri Siri
Fiksi UmumMayang, seorang guru TK yang hatinya sudah menyatu dengan anak didiknya, Michael. "Miss Mayang, Miss mau, kan, jadi mamaku? Menikahlah dengan Papa, Mis!" Tanpa anak itu minta pun, Mayang sudah menganggap Michael sebagai anaknya. Hanya saja, jika unt...