Mobil Satria berjalan cepat, seakan sudah tahu ke mana arah tujuan dari sang empunya mobil.
Gunung Manglayang.
Tempat itulah yang sering Mayang datangi kala suasana hatinya sedang buruk. Satria lah yang pertama menunjukkan tempat tersebut pada Mayang.
"Kalau nanti kamu ada apa-apa, lagi ribut sama aku, pusing masalah kuliah, atau cuma sekadar healing pikiran, kamu bisa datang ke sini. Aku jamin, deh, setelah itu pikiranmu pasti akan kembali segar."
Satria mengingat moment masa lalu tersebut. Sedikit menyesal mengapa ia malah menunjukkan gunung sebagai tempat pelarian. Kenapa bukan taman hiburan, cafe, atau yang lainnya yang lebih aman sedikit.
Meski gunung itu tidaklah setinggi gunung-gunung pada umumnya, tapi tetap saja ada suasanya curamnya.
Dari kejauhan, Satria melihat perempuan berambut sebahu dengan long dress lebar di bagian pinggang yang menjuntai sampai dasar tanah.
Perempuan itu memajukan langkahnya centi demi centi. Seakan masih ragu dengan pilihannya.
Satria mempercepat langkahnya. Ia tidak mau memanggil atau meneriaki Mayang, atau perempuan itu malah akan semakin nekat terjun ke jurang.
Dengan lancang demi kebaikan, Satria langsung menggapai tubuh perempuan berbadan dua tersebut.
Tidak ada adegan yang dramatis, tapi jantung Satria seakan berhenti berdetak. Telat sedekit saja, mungkin ia akan kehilangan cintanya.
"Apa yang kamu lakukan, May?"
Mayang hanya menangis dalam dekapan Satria.
"Kamu sudah janji bakal melindungi bayimu. Lalu apa ini?"
"Nggak ada gunanya aku hidup, Sat. Mas Indra pasti lebih memilih ratunya daripada aku."
"Aku sudah terbuang. Aku kalah. Dan yang aku nggak ngerti, kenapa semuanya nggak ada yang jujur? Kenapa semua pada bohong?"
Satria sama sekali tidak menanggapi rancauan Mayang. Ia hanya memeluk dan berusaha memberinya kenyamanan. Ya, meski ia tahu, ini salah. Sebagai seorang sahabat suaminya, ini jelas salah. Tapi sebagai dokter, rasanya tidak begitu masalah.
"Ini pernikahan, kan, Sat? Ini bukan mainan, kan? Ini ...."
Mayang masih terus berbicara meski suaranya sumbang bercampur tangis.
***
"Mandilah. Lalu kita makan, terus istirahat. Aku tunggu di meja makan."
"Tapi aku nggak bawa baju," ucap Mayang ragu.
"Di kamar yang dulu kamu tempatin, ada beberapa baju kamu. Pilih saja yang masih muat untukmu."
Mayang pun mengangguk. Ia mengambil handuk dan segera membersihkan tubuhnya di kucuran air gayung. Bukan shower.
Sementara menunggu Mayang mandi, Satria berkutat di dapur untuk mempersiapkan hidangan makan malam.
Semangkuk sup udang brokoli kesukaan Mayang sudah siap dan tersaji di meja, tinggal nunggu si empunya saja.
Mayang berdiri di dekat dispenser sambil melihat Satria beraksi dengan beberapa sayuran yang belum sempat ia matangkan.
"Eh, kamu udah di sini? Duduk, gih. Sup kesukaan kamu udah mateng."
Mayang tetap berdiri dan melihat tajam mata Satria. Ia tak mampu mengartikan pandangan sulit tersebut.
"Aku tahu, May. Kamu masih belum yakin buat maafin aku. Iya. Nggak apa-apa. Semua memang butuh proses, apalagi kesalahanku sangat fatal. Tapi aku udah janji nggak bakal ngulangin itu lagi, May."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Istri Siri
Fiction généraleMayang, seorang guru TK yang hatinya sudah menyatu dengan anak didiknya, Michael. "Miss Mayang, Miss mau, kan, jadi mamaku? Menikahlah dengan Papa, Mis!" Tanpa anak itu minta pun, Mayang sudah menganggap Michael sebagai anaknya. Hanya saja, jika unt...