Bagian 8

2.5K 183 20
                                    

Curhat dikit boleh ya? Aku punya teman dunia maya, namanya Indra. Tapi ini bukan nama asli. Dia hanya anonymous, tidak ada yang tahu siapa sosok di balik nama Indra ini.

Aku punya dendam pribadi yang belum tuntas dengannya. Dan kuharap, dengan menyiksa Indra ramai-ramai di sini bersama kalian, aku bisa ikhlas atas luka yang ia beri padaku.

=====

"Kamu ke kelas dulu, ya. Miss Mayang mau ke kantor ambil beberapa berkas."

"Kok manggilnya 'Miss'?" protes Michael.

"Kita di sekolah, Mic. Kamu murid Miss Mayang, dan Miss Mayang gurunya Mic dan teman-teman. Jadi, manggil 'Mama'nya nanti saja kalau sudah tidak berada di area sekolah. Paham, Mic?"

Michael pun mengangguk mantap tanda kalau dia memang mengerti.

Mereka pun berpisah. Mic yang bergabung dengan teman-temannya, sementara Mayang pergi ke kantor.

"Cieee ... pengantin baru. Udah masuk aja, nih, Mis? Nggak pengin gitu honeymoon dulu?"

"Gawangnya jebol, nggak, semalem?"

"Aaah, mata pengantin barunya sayu. Pasti semalam nggak tidur."

Beberapa rekan kerja Mayang seakan puas meledekinya. Sementara Mayang hanya tersenyum tanpa arti.

Ternyata malam pertama tidak selalu indah.

"Sudah, dong, jangan ganggu Mayang lagi. Kalian ini tenaga pendidik, lho! Nggak malu sama anak didik?" Itu adalah suara Miss Tika. Guru yang paling disegani di sini.

Mereka pun kicep seketika, seakan lupa jika beberapa detik yang lalu di sini sangat riuh.

"Bel sudah berbunyi. Mending kalian langsung ke kelas dan jangan lupa bawa alat peraga."

"Siap, Miss," ucap mereka serempak.

"Oh, iya, Miss Nitta. Miss Nitta tidak keberatan, kan, untuk menggantikan Miss Mayang pada jadwal apel pagi ini?"

"Tidak, Miss. Saya juga tahu Miss Mayang pasti masih lelah," ucap Miss Nitta sambil melempar canda ke arah Mayang, dan dibalas pelototan oleh Mayang.

Ruang guru pun mendadak sepi, hanya tertinggal Tika dan Mayang.

"Lu sebenarnya kenapa? Cerita ke gue!" ucap Tika dengan menanggalkan artibut keguruannya.

"Gue nggak apa-apa, Kak!"

"Nggak papa? Beneran ngga apa-apa?"

Mayang mengangguk.

"Gue kenal lu udah lama, May. Sejak lu masih kulih di UGM. Sejak lu masih gila gara-gara Satria."

"Gue nggak gila, Kak. Gue cuma skizofrenia. Dan psikiater bilang itu sudah terkendali." Mayang mengucapnya sambil menggenggam erat kepalan tangannya.

Ia tidak mau disebut gila. Meski kebanyakan orang menganggap jika orang dengan gangguan jiwa adalah gila.

"Oke, gue minta maaf. Gue nggak bermaksud ke sana.  Yang gue masalahin, kenapa lu bohong? Gu tahu lu nggak sedang baik-baik aja."

"Kak Tika ...." Raut muka Mayang sudah berubah. Ingin rasanya ia menangis menumpahkan semua sesak di dada.

Jika salah satu guru Michael tadi bilang mata Mayang layu karena terlalu lelah melayani suaminya, Tika tahu jika mata itu sayu karena lelah menangis.

"Cerita, May. Gue dulu psikolog lu juga, kan? Lu nggak bisa menyembunyikan sesuatu secekil apapun sama gue."

Tika membawa Mayang di ruang pribadinya. Ruang yang tertutup meski tidak kedap suara.

"Kaaaak ...."

Tak tahan sudah. Mayang menangkap tubuh sahabatnya dan dipeluknya erat. Ia tumpahkan semua sesaknya di sana.

Hanya Istri SiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang