Bab 39

2.7K 157 28
                                    

Note: Sebenarnya aku tidak lagi ingin menulis, tapi karena banyak email yang minta 'next', aku coba untuk melanjutkan kembali dengan alur dan ending cerita sesuai dengan rencana sebelumnya. Mohon maaf lama update.

----------------
Michael terdampar di brankar rumah sakit. Selepas Lastri menemukan Mic yang sudah dalam keadaan mulut berbusa, orang tuanya langsung membawa anak itu ke IDG.

Beruntung ia segera mendapatkan pertolongan. Jika tidak, mungkin cerita selanjutnya adalah ia akan menyusul adiknya.

"Mama kembali berusaha mencelakai anakku?"

"Jaga omonganmu, Intan. Michael cucu Mama."

"Tapi cucu Mama yang lain meninggal karena racun yang Mama minumkan ke susu Intan."

"Sudahlah, Intan. Jangan bikin Mama tambah menyesal."

Indra mematung di depan pintu menyaksikan istri dan mertuanya berdebat.

"Jika berbicara penyesalan, saya yang jauh lebih menyesal. Saya mengusir dan menceraikan Mayang tanpa mendengar pembelaan darinya. Bakhan saya menuduh dia mengandung anak haram, yang faktanya anak tersebut adalah anak saya sendiri."

Lirih, tapi cukup jelas tersampaikan ke telinga Lastri dan Intan.

Intan sangat mengerti betapa hancur perasaan suaminya. Mayang orang baik. Ia pun sudah menganggap madunya itu sebagai saudara.

"Anak kamu di sini, Indra! Sangat tidak etis ketika kamu membahas anakmu yang lain di depan istrimu," ucap Lastri.

Indra tak lagi menyahut. Berdebat dengan perempuan tua serakah ini hanya akan menghabiskan energinya.

"Bagamana kata dokter?"

"Racunnya sudah berhasil dikeluarkan, Mas."

"Mulai hari ini, yang beracun dan yang suka membawa racun, tidak usah tinggal di rumah."

"MAKSUD KAMU APA, INRDA??!"

"Jangan berteriak. Anakku sedang istirahat."

***

Pantang menyerah, Indra kembali ke rumah orang tua Mayang. Ia tidak peduli jika nanti muka mulusnya harus memar babak belur karena tonjokan Iwan.

"Assalamualaikum...."

Tak ada jawaban.

Mayang mengintip di balik kaca pintu. Hatinya kembali sakit layaknya tertusuk belati. Napasnya tersenggal, keringat dingin mulai bercucuran. Antara sedih, rindu, benci, marah, semua berkumpul jadi satu.

"Waalaikum salam." Iwan menjawab dari belakang Indra.

"Ada apa kamu ke sini?"

"Mayang."

"Mayang tidak ada.

"Mustahil Mayang tidak ke sini ketika ibunya disemayamkan."

"Masih punya muka kamu ke sini?"

"Saya hanya ingin bertemu dengan istri saya!"

"MANTAN ISTRI SIRI."

"Terserah. Saya ingin bertemu dengan Mayang."

"Mayang tidak ada di sini. Lagipula, untuk apa kamu mencarinya? Kamu sudah menipu dia untuk menikah denganmu. Ketika istrimu kembali, semua orang menyebutnya sebagai perebut suami orang. Dia sampai kehilangan pekerjaannya.

Ketika dia main ke rumah, ibu mertuamu memberikan hidangan susu beracun dan Tuhan masih menyelamatkan anakku.

Tapi kamu menuduhnya secara membabi buta. Kamu memfitnah dia meracuni istrimu. Kamu memfitnah dia berzina dengan laki-laki lain. Dan kamu pun mengusirnya. Kalau kamu tidak lagi sanggup melindungi putriku, kenapa kamu tidak kembalikan dia kepadaku?

Kami merawat Mayang dari dalam kandungan dengan penuh kasih sayang. Dan kamu! Siapa kamu sampai bisa menyakiti putriku?"

"Pergi! Mayang tidak di sini."

Iwan masuk pintu tanpa mencelakai Indra. Bahkan memegang pun ia tak sudi.

Di dalam, Mayang sudah menangis sejadi-jadinya.

"Sakit, Pa ...."

"Iya, Papa tahu. Menangislah."

***

"Ketemu Mayang?"

Indra menggeleng. "Intan ...."

"Ya?"

"Maaf."

"Kenapa?"

"Aku merindukan Mayang."

Mayang tersenyum. "Nanti kalau Mic sudah sembuh, kita sama-sama jemput Mayang, dan kaliam harus kembali menikah resmi secara agama dan negara."

"Kamu yakin?"

"Mayang adikku. Kenapa aku harus tidak yakin dengan kebahagiaan dia?"

Suami istri itu pun berpelukan.

Sedangkan di rumah Mayang ....

"Mayang harus pergi, Pa. Mayang tidak bisa di sini terus."

"Kamu mau pergi ke mana?"

Perempuan itu menggeleng.

"Papa ada ide. Itupun kalau kamu mau."

Mayang mengangkat alisnya, seolah berkata, "apa?"

"Pergilah ke Jombang, ke pesantren Budhe Fitri. Mulailah hidupmu yang baru di sana."

"Tapi Mayang kan kan tidak pakai hijab?"

"Itu bukan alasan, Nak. Pakai jilbabmu dan tata ulang hidupmu. Mulailah belajar kembali ilmu agama di sana."

"Tapi aku hamil, Pa. Gimana kalau santri yang lain mengira aku hamil di luar nikah?"

"Kamu ke sana bukan daftar sebagai santri baru. Kamu ke sana adalah sebagai keponakan pemilik pesantren. 

Lingkungan di sana juga bagus buat anakmu nanti. Soal pekerjaan, di sana juga ada TK, meski tak semegah di sini. Tapi kamu bisa ikut mengajar di sana."

Tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Apa iya,  Mayang akan hidup di pesantren?

"Satu lagi, May. Indra tidak akan bisa menemukanmu, termasuk Pak William. Nanti kalau kamu sudah siap, kamu boleh menemui mantan suamimu itu. Papa tidak melarang karena kamu memang sudah dewasa."

"Baik, Pa. Mayang akan pergi ke Jombang."

***

"Papa ...."

"Mic? Kamu sudah bangun. Apanya yang sakit, Sayang?"

Mic menggeleng.

"Ma, Pa .... Michael mau ketemu Mama Mayang. Michael mau minta maaf."

"Minta maaf?"

Kini ia mengangguk.

Mic ingat. Malam itu, hanya tersisa Mic yang mampu menyelamatkannya. Tapi anak ini malah bilang, "Mic benci Miss Mayang. Miss Mayang jahat!!!"

"Iya, sayang. Nanti kalau Mic sudah sembuh, kita cari Mama sama-sama."

"Mic sudah sembu sekarang."

"Tapi Mic masih perlu istirahat, Nak."

"Tapi Mic kangen Mama Mayang."

Intan tersenyum kecut. Tadi suaminya yang bilanh rindu pada Mayang, sekarang anaknya.

Wajarkah kalau dia iri.

"Tuhan, aku menyayangi Mayang. Lindungilah dimanapun dia berada. Hapuslah rasa ini, karena aku sudah menyayanginya dan menganggap seperti adikku sendiri."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hanya Istri SiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang