Bab 12

2.7K 169 5
                                        

Tok ... Tok ... Tok ....
Ketukan pintu terdengar dari balik telingan Mayang yang merespon sel otaknya untuk bangun.

Rupanya sudah pukul 06.00 WIB.

Bagaimana bisa ia bangun kesiangan begini? Sedangkan statusnya di sini hanyalah sebagai baby sitter.

Bukan halnya itu yang membuatnya panik, istri siri Indra ini juga belum bersujud pagi pada Sang Khaliq.

"Bu Mayang ...." Ah, rupanya suara Ratri. Seharusnya ia sudah bisa menebaknya dari irama suara ketukan pintu tadi.

Tidak mungkin juga seorang Indra sudi membangunkannya. Dan inilah realita.

"Iya, Mbak," jawab Mayang sambil berjalan membuka pintu. "Kok pakai bawa makanan ke sini?" Mayang heran dengan nampan yang Ratri bawa.

"Pak Inda yang nyuruh, Bu. Tadi sebelum ke kantor, beliau berpesan agar Bu Mayang makan yang banyak."

"Iya, tapi kan nggak harus di bawa ke kamar. Saya masih bisa jalan ke ruang makan sendiri."

"Kan Pak Indra yang nyuruh."

Mayang tidak berniat melanjutkan perdebatan kecil ini, meski tidak dipungkiri, ia juga dibuat heran dengan pesan Indra pagi ini.

"Ya sudah. Makasih, ya, Mbak." Ia langsung menerima nampan yang dibawa Ratri dan meletakkannya di meja kamar sebelum kembali ingat jika belum sholat subuh.

Tidak lebih dari tiga puluh menit kemudian, Mayang menghadapkan dirinya pada makanan yang katanya Indra perintahkan untuk ia makan.

Ia tersenyum hambar. Jika saja perasaan Indra sama dalamnya dengan Mayang, tentu ia akan sangat bahagia. Namun ia harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa statusnya tidak lebih dari baby sitter Michael.

Untuk apa Anda melakukan semua ini, Pak? Kalau memang saya tidak bisa masuk dalam hati Anda, jangan buka pintu sesempit apapun itu. Karena hati ini bukanlah sebuah batu yang tidak memiliki perasaan.

***

[Sudah makan?]

Mayang melihat notifikasi chat dari ponsenya, ternyata indra.

Buat apa Pak Indra menanyakan hal seremeh ini?

[Sudah pak. Terima kasih. Besok lagi nggak perlu repot-repot ngantar makanan ke kamar. Saya bukan orang sakit]

Entahlah, Mayang harus senang atau sedih. Yang jelas, di ruang direktur perusahaan keluarga Erlangga sana ada lelaki yang mulai senyum sendiri. Ralat, bukan sendiri. Melainkan sama ponselnya.

Indra terlihat berpikir. Ia belum menemukan kalimat yang pas untuk membalas chat istrinya. Setelah beberapa detik setelahnya ....

[Besok? Pede sekali kamu mengira kalau besok saya bakal membawakan makanan ke kamarmu lagi.]

Indra tersenyum penuh kemenangan. Ia sudah membayangkan wajah jengkel istrinya. Ah ... pasti imut sekali.

Sekelebat bayangan Intan datang. Musnah sudah senyum itu, berganti dengan rasa penyesalan seperti seorang pria yang diam-diam memiliki wanita lain. Padahal Mayang juga istrinya.

Ia mulai bingung. Setelah kejadian malam terkutuk kemarin, Indra benar-benar menyesal. Ia lembali salah menilai Mayang. Mayang tak seburuk yang ia kira. Justru penjahat selangkangan yang sebenarnya adalah dia sendiri dan sahabatnya, Satria.

Di satu sisi, Indra ingin menceraikan Mayang. Ia sadar, Mayang tidak bahagia bersamanya. Namun, bagaimana dengan perasaan orang tua mereka? Pasti tubuh kekar itu akan babak belur dihajar Iwan dan Erlangga.

Belum lagi masalah Mic. Anak itu pasti akan sangat murka mendengar kabar perceraian Indra dengan Miss tercintanya.

Namun, jika harus mempertahankan hubungan, ia akan terus dihantui rasa bersalah pada Intan. Ia masih sangat mencintai Mama kandung dari Mic.

Hanya Istri SiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang