Bagian 1

8.7K 291 4
                                    

TK. Mentari, pukul 09.00 WIB. Sudah waktunya para murid menyelesaikan tugas belajarnya. Mereka saling berhamburan ke luar kelas menuju jemputan masing-masing, tentunya setelah bersalaman dengan para guru.

"Michael, Sayang. Belum ada yang jemput, ya?" tanya Mayang, salah seorang guru di TK. Mentari.

Anak itu hanya menggelengkan kepala, mewakili sebuah jawaban yang enggan ia ucapkan.

"Mau Miss Mayang temani di sini?" tawar Mayang.

"Makasih, Miss." Akhirnya Michael angkat suara.

"Sama-sama."

Dari yang awalnya diam seribu bahasa, Michael perlahan bisa sedikit mengungkapkan sebuah ungkapan perasaan dan merangkainya dalam bentuk kata-kata.

Terlihat sekali jika anak ini sulit untuk berbaur dan berbicara dengan orang lain. Entah Michael ini anak yang berkepribadian introvert, atau hanya kurang komunikatif saja. Mayang sedang menggali masalah ini sekarang.

"Mic, Papa Mic sangat mencintai Michael. Buktinya dia selalu bekerja siang malam. Semua yang Papa lakukan kan demi Michael. Itu adalah wujud kasih sayang Papa pada Michael."

"Mic ingin Papa di rumah, Miss."

Ternyata ini adalah penyebab anak manis ini menjadi pendiam. Benar! Dia kurang latihan berkomunikasi dengan orang lain.

Bagaimana tidak, menurut penuturannya, papanya sering mengabaikan Michael dengan alasan pekerjaan. Membuat anak ini kesepian dan tentu saja, jarang bicara.

Namun, Mayang tidak bisa menelan begitu saja pejelasan dari Michael tanpa mendengarkan terlebih dahulu penjelasan dari sudut pandang papa dari anak didiknya tersebut. Biar bagaimanapun, Mic masih anak-anak. Ia bisa saja salah persepsi dan meyakini sebuah kebenaran dalam pikirannya yang sebenarnya tidaklah nyata.

"Permisi," ucap laki-laki bertubuh tinggi berisi. Meski tidak bertubuh atletis, tapi kewibawaannya mampu membuat Mayang terpana.

Dialah Indra, Indra Erlangga. Ayah dari Michael Rezky Erlangga. Pemilik Erlangga group, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi, entah urutan terbesar ke berapa di Indonesia.

"Maaf?" ucapnya lagi, yang mampu membuat Mayang tersadar dari lamunannya.

"Eh, maaf, Pak Indra. Ini Michael, sudah dari tadi menunggu Anda."

"Terima kasih," jawabnya. Ia langsung menggandeng putranya tanpa berpamitan pada Mayang. "Ayo, Mic."

Michael pun melambaikan tangannya pada Mayang sebagai ucapan perpisahan.

"Huh, datar sekali. Pantesan anaknya pendiam," celetuk Mayang.

Untung saja, tidak ada orang di dekat Mayang, hingga ia bisa tenang karena tidak akan ada yang mengatainya 'gila' karena sudah mengomel sendiri.

***

"Makanan itu dimakan, Mic! Bukan terus diaduk."

Mic tetap diam mengindahkan ucapan sang ayah.

"Mic! Kamu dengar Papa, kan?"

Michael pun meletakkan sendok dan garpu yang semula ia pegang untuk mengaduk-aduk nasi. Pandangannya mengarah pada mata tajam Indra.

Tidak ada rasa takut sama sekali di mata anak itu. Sepertiya ia sudah terbiasa dengan keadaan ini.

Terasa sekali ada ketegangan di meja makan. Hanya butuh beberapa detik untuk menyadarkan Indra. Indra pun melembutkan pandangannya.

"Maafkan Papa. Sekarang kamu makan, ya." Indra mencoba memelas. Meski tetap terihat kaku.

"Mic nggak suka makanan ini," jawab Michael ketus.

Hanya Istri SiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang