Mobil itu melaju dengan kecepatan normal. Hawa dingin AC ditambah dengan dinginnya sikap Mayang, membuat suasana di dalam mobil seperti membeku.
Berulang kali William mencoba memancing Mayang untuk berbicara, tapi menantunya itu hanya diam, tidak selera untuk menyahut.
Ia memberhentikan mobilnya di bahu jalan.
"Papa sangat tahu kamu kecewa. Tapi tolong jangan diam saja. Menangis saja kalau kamu mau menangis. Silakan teriak biar hatimu lega. Anggap saja tidak ada orang di sini."
Mayang masih tetap membeku. Ia sama sekali tidak merespon William.
"Kamu anak Papa, Nak. Ijab qabul itu tidak hanya mengikatmu dengan Indra, tapi juga Papa."
William melihat dengan jelas kehancuran Mayang. Andai saja dulu ia mampu membujuk Indra untuk jujur lebih awal, tentu ia tak harus melihat Mayang kesakitan seperti ini.
"Tolong antar saya pulang ke rumah," ucap Mayang lirih hampir tak terdengar.
"Kamu akan pulang ke rumah Papa."
Mayang menggeleng. Ia tahu William begitu baik, tapi untuk saat ini Mayang hanya ingin sendiri.
"Itu rumah kamu juga, Mayang."
"Perempuan yang dinikahi secara siri, menurut hukum negara ia tidak berhak mendapat apapun dari harta suaminya, apalagi hanya mertuanya."
"Papa memberikan itu atas nama pribadi, dan Indra pun sudah mengetahuinya. Rumah itu milik kamu, bukan Indra, Michael, ataupun Intan."
Memang. William sudah merencanakan ini sejak awal. Ia tahu posisi Mayang sangat lemah, tidak mungkin ia bisa melawan Lastri yang begitu berambisi untuk menguasai harta keluarga Erlangga lewat kepolosan Intan.
Bagi William, baik Intan maupun Mayang, mereka sama-sama menantunya. Jika hukum negara tidak bisa memberi keadilan pada salah satu menantunya, maka ia-lah yang akan memberikan keadilan itu. Itulah kenapa William memberikan rumah itu pada Mayang.
"Terima kasih. Tapi saya tidak butuh."
Suasana kembali hening. Mayang tidak bisa berpikir lagi. Ia ingin lari sejauh mungkin hanya dengan membawa anaknya.
Tapi ke mana?
Keluarga Indra pasti bisa dengan mudah menemukannya.
Ia menunduk. Isak tangis pun keluar dari bibirnya. Tidak salah, kan, jika saat ini ia beranggapan bahwa Tuhan tidak adil padanya?
"Menangislah, Nak. Menangislah, sampai dadamu lega."
***
Masih dengan wajah yang sembab, Mayang berusaha membuka pintu rumah. Ia tidak tahu siapa yang bertamu sepagi ini
Semalam ia berhasil meyakinkan William jika ia akan baik-baik saja berada di rumahnya sendiri.
"Mayang, boleh Mama masuk?" Ternyata itu adalah Lastri.
Tanpa suara ia mempersilakan ibu dari madunya ini untuk masuk.
"May, Mama benar-benar tidak menyangka jika Intan bisa kembali pulih."
Mayang tersenyum beku. "Kalau begitu, selamat. Putri Anda sudah kembali."
"Kapan kamu kembali ke rumah Indra?"
"Bu Lastri tidak perlu khawatir. Saya bukan perebut suami orang. Saya bisa menjamin rumah tangga anak Anda akan baik-baik saja."
"Maksud kamu apa?"
"Anda ingin saya pergi, kan?"
"Tidak, Mayang. Mama ingin kamu tetap di sana."
Ada ejekan di senyum Mayang. Meski ia bukan sekelas direktur, ia juga bukan orang tidak berpendidikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Istri Siri
General FictionMayang, seorang guru TK yang hatinya sudah menyatu dengan anak didiknya, Michael. "Miss Mayang, Miss mau, kan, jadi mamaku? Menikahlah dengan Papa, Mis!" Tanpa anak itu minta pun, Mayang sudah menganggap Michael sebagai anaknya. Hanya saja, jika unt...