Kondisinya yang sudah lelah secara fisik dan pikiran membuat emosinya cepat tersulut apalalgi saat mendapati ayahnya yang baru kembali setelah tiga hari penuh tidak pulang. Ia dapat mencium bau asam alkohol, Daisy bahkan sudah tidak bisa mengenali sosok ayah yang dulu pernah ia miliki itu.
"Dari mana?" tanyanya dengan dingin sembari meletakkan tas sekolahnya "Ayah kenapa sih? Yang paling stress disini seharusnya itu aku sama Jasmine. Nggak hanya kehilangan ibu, tapi juga kehilangan ayah terus digantiin sama laki-laki yang doyan mabuk sama banting-banting botol kosong bekas semalam. Bisa nggak sih ayah balik kayak dulu? Lupain aja ibu yang bahkan nggak pernah ada buat kita semua."
"Ibu nggak pernah ninggalin kita, Daisy"
"Ibu. Ninggalin. Kita."
"Dia berusaha, ayah tahu sekali sifat ibu. Dia penyayang dan hatinya sangat lembut."
"Kalau dia sayang sama kita, atau setidaknya sama Jasmine. Dia nggak akan pergi dan nelantarin kita seperti ini. Dia nggak akan biarin bocah kelas enam SD buat ngerawat adiknya, buat bersihin bekas muntahan ayahnya gara-gara terlalu mabuk, DIA NGGAK AKAN PERNAH PERGI KALAU DIA SAYANG SAMA KITA!"
"Daisy, hidup ibumu itu berat... dia cuma nggak sanggup saja, cuma itu."
Gadis itu tertawa miris, "Memangnya hidupku nggak berat, Yah? Harus kerja, mertahanin ranking buat beasiswa, ngurus rumah, masak, dan ngerjain semua hal yang seharusnya ibu kerjain?
Waktu Jasmine ngompol, aku yang bersihin. Waktu Jasmine kena cacar air, aku yang rawat dia. Bekas pecahan botol tiap malam juga siapa yang bersihin? Aku! Waktu Jasmine mesntruasi buat yang pertama kalinya, juga aku yang ngajarin dan nenangin dia. Ibu dimana? Ibu minggat! Dia pergi ninggalin dua orang anak sama ayah yang dia pikir bisa bertanggung jawab tapi ternyata ngga! Ayah malah mabuk-mabuk an nggak jelas dengan dalih 'ingin melupakan ibu' YANG PALING KEHILANGAN DISINI ITU AKU! AKU!
Dan kayaknya, semua hal yang aku lakukan nggak pernah ayah lihat. Ayah cuma bisa lihat ibu, ibu, dan seorang istri yang tega nelantarin keluarganya. Pernah nggak sih ayah tanya keadaanku seperti apa? Nggak kan? Nggak akan pernah..." Daisy mengucapkan kalimat terakhirnya dengan lirih.
Ia beranjak dari ruang tengah, dan membuka kenop pintu kamar kecilnya dengan hati-hati. Mengusap wajahnya dnegan kasar tatkala mendapati adiknya masih terjaga dengan buku yang ada di dalam pangkuan. Gadis kecil itu termenung menatap kakaknya.
Daisy tak mampu lagi membendung tangisannya, ia berbalik dan menutup wajahnya dengan tangan sembari menangis tanpa suara. Dapat ia rasakan rok sekolahnya ditarik oleh Jasmine.
"Aku pikir kakak benar. Aku nggak butuh ibu karena selama ini cuma ada kakak yang selalu ada disini. Dan ibu, aku bahkan udah lupa gimana rasanya punya ibu...
Kak Daisy, maafin Jasmine kalau selama ini selalu ngerepotin kakak tanpa tahu kalau kakak menanggung beban berat yang mungkin sudah terlalu lama kakak angkat sendiri."
Bagaimana mungkin adik kecilnya sudah sedewasa ini? Rasa-rasanya baru kemarin ia melihat bocah itu memakan kue dengan berantakan, dan sekarang, gadis kecil itu juga yang menenangkannya. Daisy berbalik selepas mengusap matanya.
Dengan tersendat ia berkata sembari mengelus adiknya, "Jasmine nggak pernah ngerepotin kakak. Dan kakak juga nggak pernah merasa direpotkan oleh Jasmine. Jangan pernah mikir begitu lagi ya? Kamu cukup belajar terus main saja, kamu harus bahagia. Janji ya, harus bahagia..."
Malam itu diakhiri oleh seorang ayah yang termenung selepas mendengar ucapan milik putri sulungnya, dan pelukan hangat dari kakak beradik itu. Di dalam ketiga kepala itu, ada sebuah perang yang tengah berkecamuk. Yang bahkan tidak bisa diungkapkan dengan kalimat. Yang heningnya menghantarkan lava ke sebuah padang tandus, menghancurkan segalanya.
[•••••]
Keesokan harinya, Daisy berangkat ke sekolahnya walaupun hari itu adalah hari Sabtu yang dimana sekolah hanya dipergunakan untuk kegiatan ekstrakurikuler yang tidak pernah Daisy ikuti karena ia tidak mempunyai waktu untuk itu.
Tangannya terulur untuk membuka pintu lab bahasa yang sebelumnya sudah ia minta kepada pengurus sekolah. Ia menyalakan komputer dan mengenakan headphone untuk mendengarkan soal bahasa Inggris tipe listening dan berlatih untuk mengucapkannya dengan aksen American. Sejujurnya, ia ingin sekali beristirahat sebelum berangkat menuju kafe sebagai pekerja paruh waktu, tetapi otaknya tidak mengizinkan. Ia harus belajar lebih keras soal bahasa Inggris sebelum diadakan ulangan selanjutnya. Ia tidak mau namanya tergeser lagi apalagi oleh anak baru yang masuk ke sekolahnya sebulan yang lalu. Egonya tersenggol.
Daisy terlalu serius sampai tidak menyadari bahwa Bumi sudah masuk di ruangan sepi itu. Lelaki itu hanya duduk di depan pintu sembari menyumpal telinganya dengan earpod kuning yang ia bawa sendiri. Ia mengamati Daisy yang sedang serius belajar sampai pada akhirnya perempuan itu menutupi hidungnya. Bumi dapat dengan jelas melihat darah mengalir dari hidung milik Daisy.
Ia hendak menghampirinya kalau saja tidak melihat gadis itu menyumpal hidungnya sendiri dengan santai seolah mimisan adalah hal yang biasa untuknya. Seakan-akan Daisy menomorduakan kesehatannya untuk nilai semata.
"Daisy, kayaknya lo harus istirahat dulu hari ini..." ucapnya selepas mengetuk bilik bernomor 07 itu.
Gadis itu mengacuhkannya, namun Bumi tak kehilangan akal, tangannya menutupi kertas coret-coretan milik Daisy, "Jangan gangguin gue, bisa gak?"
Bumi menggeleng "Nope. If you didn't want to take a rest, then at least have some bite of my brunch. Makan sambil belajar nggak ada salahnya, otak sama badan lo perlu energi. Nggak bisa lo pake terus-terusan kayak begitu."
"Gue nggak bisa fokus kalau gitu. Minggir, Bumi..."
"Lima suapan?" tawarnya sembari merogoh tas kecilnya itu namun, gelengan yang ia dapat
"Empat deh, empat? Ini scramble egg lho~" godanya namun masih saja gadis itu bersikukuh.
Bumi menghela napas, "Tiga? Please, ini penawaran terakhir gue"
"Oke, fine! Tapi habis gue makan, lo pergi ya?" anggukan antusias dari Bumi cukup meyakinkan gadis itu.
"Tiga suap buat nasi+lauknya, tiga suap lagi buat saladnya"
Mata milik Daisy memicing, "Perjanjiannya nggak begitu ya!"
"Salad buah lhoo~ hmmm keju sama mayonaisnya lumer bangeett"
Dan apa yang dikatakan bumi memang benar, ketika ia membuka wadah kecil berisi salad buah itu, Daisy tidak bisa menahan rasa laparnya, apalagi ia belum sempat sarapan.
G'Note:
Tips meluluhkan hati wanita ala Bumi: sogok pake makanan bang~
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Get: A+
Fanfiction"Apaan banget deh! Annoying!" dengusnya tak suka tatkala mendengar orang yang menempati ranking satu bukanlah dirinya lagi, melainkan anak pindahan super menyebalkan yang sayangnya mempunyai lesung pipi manis seperti idolanya. "Kesal sama gue, Dais...