Daisy memandangi pigura foto yang memotret kedua orangtuanya, dirinya, beserta Jasmine yang pada waktu itu masih bayi. Mereka dahulu pernah bahagia sampai pada akhirnya ibunya memilih untuk menyerah dan meninggalkan mereka.
Jauh di dalam lubuk hatinya, ia sadar bahwa ia tidak bisa menyalahkan ibunya.
Daisy tahu betul bahwa ibunya tumbuh di dalam sebuah keluarga yang berkecukupan sebelum menikahi ayahnya. Hal itu terlihat dengan sangat jelas tatkala ia berkunjung ke rumah kakeknya untuk kali pertama dan mungkin terakhir.
Rumah kuno yang terletak di desa itu terlihat luas dengan pekarangan yang dua kali besarnya dari lebar rumah itu sendiri. Daisy di masa kecil menyadari bahwa perabotan kayu di rumah itu terbuat dari pohon jati tua asli yang berharga cukup mahal.
Kedatangan mereka tidak di sambut baik oleh kakek maupun neneknya. Perlakuan dingin dan meremehkan itu terekam dengan sangat kuat pada otak Daisy di masa kecil. Ibunya selalu berkata bahwa ia tidak pernah menyesali menikahi ayah walupun ia hanya seorang janitor di kampusnya yang berada di Jakarta pada waktu itu. Ibunya bercerita bahwa ayahnya sangat cerdas. Ia sangat menyukai bagaimana waktu mereka berpacaran ayahnya dapat dengan lihai menjelaskan mengapa langit berwarna biru, atau bagaimana ia bisa mendeskripsikan perbedaan antar tornado di Amerika dengan angin puting beliung yang kerap terjadi di Indonesia.
Ibunya berhenti kuliah selepas orangtuanya menolak untuk membiayainya karena ia bersikukuh ingin menikahi ayahnya.
Keputusan bodoh, memang. Sangat bodoh. Khas anak muda yang tak mengenal resiko.
Kehidupan pernikahan kedua orangtuanya diiringi dengan keterbatasan walaupun ibunya selalu yakin bahwa ayahnya suatu saat akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dengan kepintarannya itu.
Namun ternyata, bibit yang berusaha ibunya semai tidak kunjung berbuah. Ayahnya tetap menjadi orang pintar yang gagal karena kemiskinan struktural yang membelenggunya sedari dulu, sebelum ia mengenal ibunya.
Mungkin pada waktu itu akhirnya ibunya tersadar dan memilih untuk angkat kaki dari rumah kontrakan kecil itu. Dan kepergian ibunya, membuat ayahnya kecewa luar biasa walaupun tidak pernah menyalahkan atas sikap istrinya yang meninggalkan dirinya dengan dua anak perempuan yang belum dewasa.
Pada awal tahun pertama semenjak kepergian ibunya, Daisy serta Jasmine kembali mengunjungi rumah kakek dan neneknya bersama dengan ayahnya yang bersimpuh di kaki mereka supaya berbesar hati untuk memberitahukan keberadaan putri mereka.
Usaha mereka tidak menghasilkan apapun. Satu kalimat yang Daisy ingat pada hari itu. Ketika kedua tangannya berusaha untuk menutup mata beserta telinga milik Jasmine yang saat itu baru duduk di bangku sekolah dasar kelas dua.
"De'e gak bakalan isok lan gak bahagia karo awakmu! Minggat o tekan kene! Aku gak tau nganggep awakmu dadi mantu ku!" (Dia tidak akan dan tidak bahagia dengan kamu! Pergi dari sini! Aku tidak pernah menganggap dirimu sebagai menantuku!).
Lontaran kalimat makian yang di ucapkan dalam bahasa Jawa itu membekas di dalam ingatannya. Sekembalinya mereka ke Jakarta, ayahnya tak lagi menjadi orang yang sama. Daisy dan Jasmine tidak lagi mengenal rupa sosok ayahnya yang penuh belas kasih seperti dahulu semenjak ia melarutkan dirinya sendiri dengan minuman keras yang saban hari ia tenggak. Meninggalkan Daisy dan adiknya terpekur di pojok rumah, berusaha untuk memeunguti serpihan-serpihan keluarganya yang masih tersisa. Berharap itu akan cukup membuat Jasmine mengingat bahwa kedua orangtua mereka pernah menyayanginya dan mencintainya sebelum badai ini menerpa rumahnya.
Nenek dari keluarga ayahnya pun juga tak bisa membantu banyak selain ikut tinggal bersama dan membantu Daisy untuk membereskan rumah serta mengawasi adiknya. Pekerjaannya sehari-hari hanya menjual gorengan yang hasilnya tidak seberapa sampai pada akhirnya meninggal karena usianya yang memang sudah sangat tua itu.
Kepergian neneknya itu tidak mengguncang ayahnya. Ia tetap pulang dengan keadaan mabuk dan memberikannya uang yang tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Pria itu tetap saja merusak dirinya sendiri.
Daisy ingin menyerah dan hendak menghabisi nyawanya sendiri tetapi, ia tidak mungkin meninggalkan adiknya bersama dengan orangtua tunggal yang lupa akan perannya itu. Ia tidak bisa melakukan hal sekejam itu pada Jasmine.
"Kak?"
Suara bening milik adiknya itu membuatnya tersentak. Ia dengan cepat meletakkan pigura itu dan lantas tersenyum kepadanya.
"Hmm? Ada apa?" tanyanya seraya mengelus rambut legam milik Jasmine.
"Kok melamun?" tatapannya berubah menjadi penuh selidik, membuat Daisy sedikit tergagap dan lantas tertawa canggung.
"Jasmine, kakak bakalan tetap di sini sampai kamu lulus." ucapnya dengan mantap.
Ia tidak lagi memperdulikan impian konyolnya. Apa itu? Kuliah di luar negeri? Yang benar saja!
"Lulus dari SD, kan? Tenaangg! Aku udah bisa bersihin rumah, masak, beresin botol-botol itu, terus-"
Daisy memotong ucapan adiknya, "Nggak. Kakak bakalan tetap di sini sampai kamu lulus SMA. Bahkan kalau bisa, kakak bakalan lihat kamu lulus kuliah, jadi sarjana!" tukasnya dengan bersemangat.
Mendengar ucapannya, mata yang biasanya berbinar itu sedikit meredup, "Terus, kakak gimana? Kakak nggak pengen kuliah juga? Nilai-nilai kakak bahkan lebih bagus daripada aku..." ucapnya dengan sendu.
"Kakak nggak pengen kuliah! Lagipula, kalau kakak nggak kuliah, kakak bisa kerja full time! Nanti kita bisa makan enak setiap hari! Kakak bisa beliin kamu baju-baju bagus! Mungkin kakak juga bisa bikin pesta ulang tahun kecil waktu kamu umur tujuh belas! Keren, kan?!" tanyanya dengan bersemangat. "Kalau kakak kerja, kamu nggak perlu nunggu sepatu buat jebol itu baru kita bisa beli. Kakak bisa beliin sepatu yang bagus, kayak punyanya kak Bumi. Kakak bisa ajak kamu sama ayah makan di restoran juga. Mungkin kita bisa jalan-jalan ke luar kota tiap tahun baru kalau-"
"Tapi, aku nggak pengen sepatu bagus..."
Jawaban dari adiknya itu membuat Daisy menghentikan ucapannya. Adiknya itu kini menundukkan kepalanya sementara bulir air matanya terjatuh satu demi satu.
"Eh? Kok nangis? Jasmine, kenapa nangis?" tanyanya dengan khawatir seraya mengusap kedua pipi adiknya itu.
"Aku nggak pengen sepatu bagus kayak kak Bumi soalnya aku udah suka sama sepatuku yang sekarang. Aku nggak pengen makan enak setiap hari. Aku juga nggak pengen ulang tahunku di rayain karena kak Daisy juga nggak pernah di rayain. Aku nggak mau pakai baju-baju bagus." ucapnya dengan sesenggukan "Aku cuma mau kak Daisy kuliah. Dimanapun. Aku tahu kak Daisy sering ngelamun waktu lihat brosur kampus-kampus yang kak Daisy dapet dari sekolah.
Aku tahu kalau kakakku pintar, pasti dapet beasiswa kayak sekarang!" tukasnya dengan yakin yang membuat Daisy tertawa kecil seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Anak kuliahan tuh jadwalnya padat, Jasmine... kakak mungkin nggak bisa kerja kayak sekarang kalau kakak kuliah. Makanya kakak nggak pengen kuliah sekarang. Toh, kuliah itu nggak ada batas umurnya, kan? Mungkin suatu saat nanti, kalau kamu udah jadi sarjana, kakak bakal mempertimbangkan untuk daftar jadi mahasiswi..." jawabnya dengan lembut.
Tidak seharusnya bocah sekecil ini berpikir yang terlalu berat. Jasmine seharusnya berpikir akan berlibur kemanakah ia pada saat akhir pekan nanti atau sesepele apakah ia sarapan dengan nasi goreng dengan telur pagi nanti.
Tanpa mereka sadari, ada seorang pria yang sedari tadi mendengarkan percakapan kedua orang itu dari balik pintu kayu tipis murahan yang tidak mampu menyamarkan suara mereka.
G'Note:
Bocah sekecil itu berkelahi dgn realita dunia yg kejam enih~
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Get: A+
Fanfiction"Apaan banget deh! Annoying!" dengusnya tak suka tatkala mendengar orang yang menempati ranking satu bukanlah dirinya lagi, melainkan anak pindahan super menyebalkan yang sayangnya mempunyai lesung pipi manis seperti idolanya. "Kesal sama gue, Dais...