12. about dreams and reality

49 9 0
                                    

Daisy yang sekarang tidak ada ubahnya dengan Daisy kecil saat di tanya tentang apa mimpi dan cita-citanya. Jawabannya tetap sama. Menjadi dokter dan berkeliling dunia. Konsisten. Sampai saat inipun, saat ia di hajar oleh kerasnya dunia, Daisy masihlah sama ketika ditanyakan apa impiannya.

Mungkin terlalu muluk dan tidak masuk akal kata mereka. Karena nyatanya di dalam kehidupan, kepintaran tidaklah cukup. Dan pula, menjadi dokter membutuhkan biaya yang sangat banyak. Walaupun ia mendapatkan beasiswa, Daisy sendiri tidak yakin kalau ia bisa membiayai adiknya karena kesibukan yang luar biasa.

Maka di penghujung masa mudanya, Daisy kembali bertanya tentang mimpinya. Perempuan itu kembali mempertimbangkan semua impian dan harapannya. Karena pada dasarnya kita semua punya mimpi tetapi, dunia punya realita.

Ia mengamati laki-laki yang ada di hadapannya, mata obsidian itu kini telah terpaku pada kuas lukis yang ia pegang. Bumi dengan lihai mencampurkan dan menggoreskan cat di atas kanvas. Daisy dapat melihat bahwa lelaki itu sangat meminati waktunya saat melukis atau menggambar karena sudut bibirnya selalu menukik keatas bersamaan dengan binar aneh yang tiba-tiba saja memantul di kedua irisnya.

"Bumi..." lelaki itu berdeham sejenak "Lo pengen kuliah di mana?" tangannya berhenti lalu mencelupkan kuasnya di dalam air

"Hmm di FSRD nya ITB sih." Ia kemudian membalikkan easel kanvas miliknya ke arah Daisy dan membuatnya terkesiap.

Daisy yang memang tidak bisa menggambar dan payah di dalam hal kesenian itu selalu kagum dengan orang-orang yang andal di dalam bidang itu. Entah berapa kali karya milik Bumi berhasil membuat mulut perempuan itu menganga karena kagum. Tugas kelas seni hari ini hanyalah membuat sketsa salah satu wajah teman sekelas, namun sepertinya tangan milik pria itu tidak ingin menganggur selepas menyelesaikan sketsanya dan memilih mewarnainya dengan teknik water coloring yang di mana cat dibalurkan setipis mungkin di atas objek gambar, membuatnya tampak transparan.

"Gue nggak secantik itu... Lo-keren banget!" pujinya lalu memandangi kanvas milik Bumi berkali-kali "Astaga, ini bagus banget, gue nggak bohong!" ucapnya sekali lagi "Lo jangan bikin malu gue dong! Hasil lukisan gue bahkan nggak mirip lo sama sekali"

Bumi tertawa lalu memandanginya dan berdecak, "Ck, lukisan gue kayaknya kurang bagus" tukasnya lalu mengangkat kanvasnya dan mensejajarkannya dengan wajah milik Daisy "Hmm, iya nih. Ada yang salah..."

"Iyalah! Kan memang cantikkan lukisannya daripada objek aslinya."

"Lo salah. Lebih cantik objek nyatanya ketimbang hasil lukisan punya gue."

Daisy memalingkan wajahnya dengan cepat karena merasa salah tingkah, mengundang gelak tawa milik pria itu. Tak lama ia berdeham dan mengalihkan topik pembicaraannya.

"Kenapa pengen masuk fakultas Seni?" tanyanya karena mengetahui bahwa bisnis makanan milik keluarganya sedang berada di puncak. Lantas mengapa ia tidak memilih jurusan tataboga atau bisnis saja?

"Gue suka masak sama ngelukis. Tetapi, kalau dibandingkan, gue lebih suka melukis. Actually I'm an introvert person, I didn't really like to be in the crowd like a chef who'll always surrounded by a lot of people. I got stressed easily whenever I didn't get my 'silent' time at least for 5 hours a day. Lo sendiri gimana?"

Daisy memalingkan pandangannya ke arah jendela, sesaat ia menekuri rumput hijau lapangan sekolah yang hanya ia pijak saat pelajaran olahraga, tidak ada orang yang mengarahkan mimpi dan hidupnya. Perempuan itu masih bingung dengan masa depannya.

"Bum, jadi dokter gajinya banyak nggak?" tanyanya penasaran, menjadi seorang dokter adalah mimpi terselubungnya.

Maka Bumi mengerutkan alisnya, "Hmm, gue nggak pernah tanya sih tapi, lo mau ketemu kakak sepupu gue nggak? Dia dokter dan lagi ambil spesialisasi. Nanti lo bisa tanya banyak ke kak Miya."

[•••••]

"ADUUHH! DOKTER ITU KAYA KERJA RODI. LAGI LIBUR AJA MASIH HARUS STAND BY TELEPON 24/7, BELUM LAGI PAS KULIAH LAPORANNYA SEABREK-ABREK TERUS PRAKTEKNYA NGABISIN DUIT PAPA. BENERAN DEH, GUE NYESEL AMBIL FK!" Perempuan cantik berambut panjang itu menjelaskan semua penderitaannya selama menjalani masa perkuliahan dan masa koass nya

Ia menandaskan jus nya dengan satu kali tengga lalu melanjutkan kalimatnya, "Beneran deh, kalalu lo pinter mendingan jangan ambil FK. Proses 'jadi' nya tuh lamaaaa banget, terus walaupun dapat beasiswa nggak bisa dipungkiri kalau ada biaya-biaya lain yang nggak terduga. Tapi kalau lo memang benar-benar berniat mengabdi sama masyarakat ya FK jawabannya soalnya untuk mengembalikan semua biaya pendidikan lo selama kuliah kedokteran dan ambil spesialisasi tuh lama banget. Kalau lo berorientasi sama gaji, jangan ke FK. Beneran, bisa mati sengsara soalnya tenaga dan otak di kuras tapi, gaji se upil" keluhnya.

Bumi dan Daisy mengangguk-anggukkan kepalanya dengan paham, "Dia kan nilai mata pelajarannya tuh perfect, A+ terus. Enaknya ambil jurusan apa?" tanya Bumi.

Miya mengerutkan dahinya sejenak lalu bertanya, "Lo suka fisika, biologi, dan antek-anteknya nggak? Kalau iya, masuk engineering aja atau jadi scientist. Dua bidang itu lulusannya rata-rata punya gaji yang lumayan besar dan prosesnya nggak selama anak FK. Satu hal lagi, coba cari beasiswa di daerah Europe, peluang masuknya lebih besar daripada lo cari di Amerika atau Inggris. Uang sakunya juga lebih banyak hehehehe" ucapnya sembari menaik-turunkan alisnya dengan jahil.

Dan disinilah Daisy berada, menggulirkan kursornya seraya mengamati kampus eropa mana yang sekiranya bisa ia masuki. Ia tidak berharap banyak untuk bisa kuliah tetapi, tidak ada salahnya mencoba. Kalaupun gagal, mungkin perempuan itu akan lebih memilih bekerja dan mencari biaya untuk kehidupan adiknya. Cepat atau lambat, Jasmine akan tumbuh dewasa dan ia tidak mau adik perempuan satu-satunya itu besar dan berdampingan dengan figur seorang Ayah yang pemabuk.




G'Note:
Ya, yang ada di mulmed hasil sketsanya Bumi.

How To Get: A+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang