Daisy kembali mempertanyakan eksistensi pria itu di hidupnya yang semula datar. Hanya dalam hitungan bulan, perempuan itu berhasil temukan potongan puzzle yang semula hilang dari dirinya. Menjadi seorang remaja, menikmati lampu temaram kota, tertidur dengan buku yang ada di pangkuan, semuanya. Semuanya, ia lakukan bersama Bumi.
Dan kini, ia duduk di tengah teman-temannya, merasakan bagaimana rasanya berkumpul dan membicarakan kelakuan guru yang tidak ia sukai, tertawa lepas, dan menikmati embusan angin malam yang menerpa rambutnya. Bumi membuatnya menjadi remaja pada umumnya. Tanpa beban, tanpa rasa takut, dan ceroboh.
Layar ponselnya sudah menunjukkan pukul sepuluh. Sebenarnya belum terlalu larut untuk ukuran anak ibukota, apalagi sepertinya Jakarta memang tidak pernah 'tidur'. Namun, mengingat adiknya yang sendirian di rumah, membuatnya merasa tidak enak. Membelah jalanan yang kemacetannya sudah mulai terurai, Daisy mengeratkan jaketnya, berusaha menghalau angin malam.
"Cepetan masuk, sudah malam..." ucap Bumi sembari tersenyum, lelaki itu hendak mengenakan kekbali helmnya kalau saja ia tidak melihat seorang lelaki berjalan sempoyongan dan membuka rumah gadis itu "Daisy, itu-"
"Itu, ayah gue. Cepetan pulang sana, hampir jam sebelas." kelopak matanya berkedip dengan cepat, menandakan ia gugup.
"Gue turun dulu deh, pamitan sam-"
"Nggak perlu! D-dia mungkin lagi mabok..." kini giliran lelaki itu yang kaget, mulutnya sudah terbuka untuk menanyakan berbagai macam hal tetapi, ia urungkan karena melihat Daisy yang sepertinya tertunduk dengan wajah malu.
Maka ia ulurkan tangannya, menepuk-nepuk pundak perempuan itu lalu berkata, "Oke, gue pulang. Kalau ada apa-apa, telfon gue ya?" selepas anggukan ia dapatkan, Bumi kembali mengenakan helmnya dan kemudian meluncur pergi dari kawasan rumah perempuan itu.
Merasa terlempar kembali ke dalam kehidupannya, tiba-tiba saja Daisy berangan kalau saja ia berasal dari keluarga yang normal. Sebuah potret keluarga yang takut ia impikan karena terlalu tinggi untuk di raih. Dan Daisy, paling tidak suka dengan segala 'kemungkinan' yang tidak pasti.
Kembali ke rutinitas pagi yang biasa ia jalankan, Daisy mengendarai motornya dan berangkat ke sekolah. Sedikit tidak percaya diri karena ia takut kalau-kalau semua orang memandangnya rendah karena peristiwa itu. Dibarengi dengan rasa ragu, ia menapakkan kakinya di dalam kelas yang sudah seperti ruang belajar pribadinya karena terlalu sering pulang lambat.
Namun, di luar ekspetasi, semua teman sekelasnya sudah hadir dan lengkap padahal ia tahu kalau selama ini mereka hadir tepat lima menit sebelum bel tanda masuk dibunyikan. Kevin lah yang bertama kali tersenyum lebar sembari bertepuk tangan sembari berkata, "Welcome back, 11-A's genius" perempuan itu tidak menyangka bahwa semua temannya ikut antusias dan tersenyum lebar kepada dirinya "Duh, kalau lo beneran di DO bisa-bisa pak Frans pusing soalnya murid terpintarnya di keluarin dan terpaksa harus ngajar dua puluh tiga anak yang otaknya kopong ini" selorohnya yang di sahuti ejekan dari yang lainnya
"Kurangin satu bray! Bumi masih ada otaknya!" tukas Rayya sembari memamerkan cengirannya "Selamat datang kembali, bandit jeniusnya 11-A" ucapnya sembari mengulurkan tangan ala pejabat yang membuat Daisy tertawa kecil
Ia bahagia karena ternyata masih ada banyak orang yang mau mendukungnya. Selama ini Daisy cukup pesimis dengan kehidupan sosialnya dan tanpa sadar membangun tembok penghalang diantara dirinya dan teman sekelasnya. Perempuan itu menganggap kalau mereka mungkin hanya mau memanfaatkannya lalu membuangnya ketika sudah tidak dibutuhkan lagi namun, melalui Bumi yang menjadi perantara diantara mereka, Daisy ingin mencoba meruntuhkan satu demi satu bata yang ia bangun.
[•••••]
Bumi mengernyit heran tatkala mendapati namanya tiba-tiba ada di dalam daftar peserta OSN. Setahunya ia bahkan tidak pernah mendaftar ataupun mengikuti klub buku seperti Daisy.
Lebih herannya lagi, nama perempuan itu juga ada di dalam daftar namun berbeda mata pelajaran. Ia sedikit bingung karena mengingat Daisy dua minggu lagi akan berangkat ke Singapura. Dalam waktu satu bulan ada dua olimpiade? Sedikit tidak mungkin. Bagi Bumi yang memang belajar berdasarkan mood, baginya tidak mungkin seseorang bisa menjalani pelatihan dua olimpiade sekaligus apalagi keduanya ada di taraf nasional dan internasional.
"Daisy, lo nggak salah? Itu jaraknya mepet loh..."
Gadis itu hanya mengendikkan bahunya acuh, "Enggak apa-apa, toh sama-sama olimpiade matematika. Kalau jaraknya terlalu jauh, nanti gue ga terbiasa sama hecticnya."
"Terus, itu nama gue kenapa tiba-tiba ada di daftar peserta?! Gue kapan tes nya?" tukas Bumi sedikit panik karena namanya tidak bisa disandingkan dengan kata belajar dan ambisius.
"Bukannya yang waktu itu lo, Lily, sama Andra tes sama bu Yuni? Yang sehabis kuis, inget nggak? Kalian bertiga di panggil di ruangan beliau." jawabnya sembari mengernyit heran
Bumi mengerutkan alisnya, kebingungan "Tapi waktu itu bu Yuni bilang itu cuma tes kemampuan aja..." ucapnya sembari menggaruk kepalanya "Jangan-jangan..."
Daisy terkikik geli, "Ya itu sama aja kayak tes sebelum daftar olimpiade, artinya lo memenuhi kualifikasi sekolah. Selamat belajar, Bumi~" Daisy tersenyum jahil sembari menepuk-nepuk bahu laki-laki yang masih terkejut di depan mading sekolah "Yang ambis ya~" lalu beranjak menuju ruang kelas.
G'Note:
Ekspresi Bumi waktu lihat ada namanya di mading
"Naon anying???"
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Get: A+
Fanfiction"Apaan banget deh! Annoying!" dengusnya tak suka tatkala mendengar orang yang menempati ranking satu bukanlah dirinya lagi, melainkan anak pindahan super menyebalkan yang sayangnya mempunyai lesung pipi manis seperti idolanya. "Kesal sama gue, Dais...