Tangannya meremat kuat sertifikat olimpiadenya yang bertuliskan 1st runner-up. Daisy hampir tidak pernah kalah dalam sebuah perlombaan dan kali ini adalah pukulan terberat baginya. Ia tahu betul bahwa sertifikat yang ia pegang saat ini mungkin akan di bangga-banggakan jikalau ia menempuh pendidikan di sekolah yang biasa-biasa saja. Tetapi, mungkin sekolah elitnya dan jejeran donatur yang membiayainya hingga saat ini mungkin akan berdecih tatkala melihat kertas ini.
Ia tidak berarti bagi siapapun.
Sepulangnya dari Singapura, lagi-lagi pak Frans memanggilnya. Daisy tahu bahwa mungkin saat ini ia telah di depak dari sekolah karena itu sedari pagi ia memilih untuk membolos di area belakang sekolahnya yang tidak terlihat sampai pada akhirnya namanya di panggil dari pengeras suara yang menempel pada pilar-pilang bangunan sekolahnya.
"Kepada Sandyaloka Daisy Btari dari kelas 11 A-1, di mohon untuk menuju ke ruang Komite Sekolah sesegera mungkin."
Suara ketukan dari sepatu pantofelnya saat ini terdengar sangat nyaring karena kondisi koridor yang sepi. Bunyi irama teratur yang dihasilkan dari langkah kakinya itu secara mengejutkan membuatnya sedikit lebih rileks. Sesaat sebelum ia berbelok menujur ruangan itu, ia dikejutkan oleh kehadiran seseorang.
"Bu Yusa? Selamat pagi, bu!" sapanya dengan riang.
Perempuan paruh baya itu membalasnya dengan senyuman lebar, "Oh, halo Daisy! Kok nggak di kelas? Diajakin bolos ya sama si jamet itu?" tukasnya yang membuat Daisy tertawa terbahak-bahak.
Selama ia bekerja paruh waktu di kafe yang dimiliki oleh putra sulung perempuan itu, Daisy kerap kali mendengarkan panggilan-panggilan lucu nan mengejek yang ditujukan oleh anak bungsunya, Bumi. Seringkali Daisy berangan-angan apakah ibunya saat ini seceria bos nya itu? Bahagiakah dirinya tatkala ia memilih untuk mencampakkan suami serta anak-anaknya? Tak dapat disangkal, dadanya terasa berdenyut-denyut layaknya luka bekas sayatan pisau yang belum sembuh dan mungkin selamanya akan begitu.
"Ah, saya di panggil guru. Kalau boleh tahu, bu Yusa ada keperluan apa di sini?" tanyanya dengan bingung.
"Oh ini... saya cuma melengkapi pemberkasannya Bumi. Ada beberapa yang kurang, bukan masalah besar." jawabnya sembari mengibas-ngibaskan tangannya.
Daisy mengangguk, "Kalau begitu, saya bisa menunjukkan ruang administrasi di lantai dua, mari-"
"Eh, nggak perlu! Ini sudah selesai kok. Saya cuma iseng aja pengen keliling-keliling di sekolahmu mumpung ada waktu. Penasaran isi di dalamnya seperti apa. Kamu segera ke ruang guru, gih! Kasihan nanti kalau gurunya menunggu terlalu lama..." tukasnya dengan cepat seraya tersenyum.
Ia menganggukkan kepalanya sekali lagi dan lantas mengguratkan senyumannya, "Saya permisi dulu ya bu, hati-hati di jalan!" ucapnya sembari menundukkan kepalanya sedikit dan lantas membeku tatkala perempuan itu mengusap-usap rambutnya yang di kuncir sebagian.
"Tetap semangat belajar ya, Daisy. Jangan pernah putus asa..."
Sepeninggalan perempuan tadi, Daisy masih tetap mematung karena selepas sekian lama ia di tinggalkan oleh ibunya, ia sudah lupa bagaimana bentuk sentuhan seorang ibu dan hari ini bu Yusa mengingatkannya kembali.
•••●•••●•••
Daisy mencoba untuk menelisik tatapan mata wali kelasnya itu dan berharap bahwa saat ini ia bisa membaca pikirannya supaya bisa mempersiapkan diri dari kenyataan pahit bahwa dirinya akan hengkang dari sekolah ini.
"Ehm! Jadi begini, Daisy-" intonasi lambat dari pak Frans membuatnya jengah dan tidak tahan untuk memotong ucapan gurunya itu.
Ia tahu bahwa itu adalah perbuatan yang sangat tidak sopan mengingat apa yang sudah dilakukan oleh pak Frans beberapa bulan yang lalu. Wali.kelasnya mencoba untuk membujuk para donatur dan bersedia untuk memberikan beasiswa itu lagi selepas kelakuann sembrononya dengan memposting video bukti bahwa salah satu anak dari para donatur itu melecehkannya secara verbal pada saat itu.
"Saya dikeluarkan. Baik. Pada hari ini juga saya akan mengisi formulir-"
"Tidak! Sebentar, dengarkan saya dulu dong! Jangan serius-serius gitu, ah! Anak SMA kan seharusnya bersenang-senang..."
Pak Frans adalah salah seorang guru yang memang terbilang sangat santai. Dibandingkan dengan menghukum pelaku pelanggaran di kelasnya, ia lebih memilih untuk mengajar siswa itu berdiskusi dan curhat dengannya selepas pembelajaran berlangsung. Metode pendekatan yang tak lazim di gunakan oleh seorang guru terutama pada sekolah elit yang sangat kaku ini.
Namun, siapa sih yang tidak tegang jikalau mengetahui dirimu akan dikeluarkan dari sekolah? Siswa manapun pasti akan merasa cemas.
"Kamu adalah murid berprestasi, semua guru tahu itu. Mereka semua tidak setuju bahwa kamu akan dikeluarkan mengingat betapa banyaknya medali kejuaraan yang kamu dapatkan dahulu. Tetapi, yayasan beserta para donatur memang menetapkan standar yang sangat tinggi, hampir tidak masuk akal kalau menurut saya. Hal itu diperlukan untuk menjaga kualitas serta memastikan bahwa penerima beasiswa tadi berkontribusi besar bagi sekolah.
First runner-up sebenarnya sudah sangat membanggakan mengingat ini adalah olimpiade internasional yang pertama kali kamu ikuti. You've got a lot of potential, Daisy. Tetapi, dikarenakan ada skandal kemarin, para donatur merasa enggan untuk mengucurkan dana untuk kamu walaupun mungkin mereka tahu betul bahwa kamu tidak bersalah..."
Daisy menunduk mendengarkan hal itu. Mungkin memang benar, orang miskin seharusnya tidak perlu bertingkah dan merasa superior bahkan walaupun mereka melakukan hal yang benar. Seharusnya ia tetap bungkam dan membiarkan rumor itu terus melabelinya sampai ia lulus jikalau memang itu harga yang harus ia bayar untuk tetap terus menempuh pendidikan di sekolah ini. Toh, selama ini ia pandai untuk menulikan indera pendengarannya, kan?
"Kabar buruknya, beasiswamu akan di cabut." ucap wali kelasnya itu.
Ia menghela nafas, "Saya tidak akan mungkin sanggup untuk membayar biaya sekolah ini, pak. Itu hanya kalimat halus dari kalimat 'kamu dikeluarkan dari sini'" ia tertawa miris hingga tidak sadar bahwa netranya sudah berlinang air mata "Saya akan mengisi formulir pengunduran diri sesegera mungkin." tukasnya dengan lirih.
"Kabar baiknya, ada salah satu donatur baru yang ingin memberikan beasiswa untukmu- secara khusus."
Tatkala mendengar hal itu, Daisy membelalakkan matanya, terkejut setengah mati sampai tidak bisa mengendalikan reaksinya.
"Hah?!"
G'Note:
Haii, sebenarnya aku udah bikin playlist di spotify yang sekiranya vibesnya cocok sewaktu kalian membaca wattpad ini. Silahkan di dengarkan~
Sincerely, Ann🍀
https://open.spotify.com/playlist/6e1Oq2Fvm54r5vL6egUx51?si=HDyEVmqmSUKgOQunTjsy_A
Ps. Kalau tidak bisa di buka link nya, bisa di search lewat nama akun spotify ku namanya proba mortem dan nama playlist nya when the weather is fine dengan cover bergambar kupu-kupu. Thankieess~
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Get: A+
Fanfic"Apaan banget deh! Annoying!" dengusnya tak suka tatkala mendengar orang yang menempati ranking satu bukanlah dirinya lagi, melainkan anak pindahan super menyebalkan yang sayangnya mempunyai lesung pipi manis seperti idolanya. "Kesal sama gue, Dais...