Tujuh belas tahun ia hidup, tidak pernah sekalipun ia bermimpi akan menginjakkan kaki di luar negeri. Mungkin bagi temannya yang lain, negara Singapura sudah menjadi destinasi umum yang mereka kunjungi sewaktu liburan namun, bagi Daisy, inilah kali pertama ia berada di negeri orang. Sepanjang ia memandang area pedestrian yang bersih itu, tidak ia jumpai pedagang asongan seperti yang biasa ia dapati di Jakarta. Di setiap sudut jalanannya sangat bersih, tanpa ada sampah. Mungkin inilah dampak positif dari pemberian denda yang sangat tinggi bagi orang-orang yang membuang sampah tidak pada tempatnya.
Sekolahnya menyediakan hotel yang fasilitasnya lumayan lengkap, ia bisa belajar dengan tenang diatas nakas dengan lampu meja kecil. Pada pukul delapan, tutornya baru beranjak dari kamarnya, meninggalkan ia sendirian.
Daisy menghempaskan badannya ke kasur lalu berguling-guling dengan nyaman. Satu-satunya hal yang ia sukai dari olimpiade di luar kota adalah hotel yang sekolahnya sediakan. Sejujurnya ia tidak masalah tinggal di dalam rumah yang sempit namun, suasana rumahnya tidak pernah sepi, selalu saja ada suara yang terdengar walaupun sudah kelewat malam. Ia menyukai tempat hening, oleh karena itu Daisy sangat menyukai perpustakaan dan lab komputer sekolahnya karena disanalah ia dapat berpikir dengan jernih. Suasana sepi membantunya di dalam berbagai macam hal.
Bumi 11-A
Kesabaran adek lo udah habis waktu ngajarin si Jean, ada kali setengah jam Jasmine ngajarin satu soal yang sama tapi, anaknya nggak paham-paham.
LIhat! Mukanya masih plonga-plongo😭 sekarang gue tahu gimana rasanya jadi kak Miya yang setiap hari ketemu sama Jean...
Katanya Jasmine "kalau ada kakak, sudah habis jari lo kena penggaris 30 senti"😭
Jean kok mukanya kaya orang kehilangan semangat hidup🙂
Daisy tersenyum ketika melihat foto-foto yang Bumi kirimkan kepadanya. Ia senang mengetahui fakta bahwa Bumi juga menganggap adiknya seperti keluarganya sendiri, di dalam beberapa kesempatan, Bumi terlihat terlalu memanjakan Jasmine. Dan adiknya itu tahu bahwa Bumi ialah orang yang mudah terbujuk rayu, oleh karena itu tiap kali Daisy membiarkan Bumi menjemput adiknya, tangan milik Jasmine selalu menenteng dua kantung plastik besar berisikan camilan.
[•••••]
"Tetap fokus dan jangan sampai salah menjawab, oke? Kalau hari ini namamu ada di dalam daftar finalis, sekolah akan memberikan bonus nanti." Daisy membulatkan matanya terkejut
"Eh? Biasanya nggak begitu..." ucapnya terheran, "Ah, mungkin karena ini tingkat internasional" gumamnya pelan.
Perempuan itu mulai membalik kertas soalnya satu detik selepas dering bel tanda mulainya pertandingan dibunyikan, sebenarnya kalau soal-soalnya menggunakan bahasa Indonesia, ia tidak akan segugup ini. Yang menjadi masalah, Daisy sedikit meragukan kemampuan berbahasa Inggrisnya. Ia tidak selihai Kevin yang merupakan teman sekelasnya itu. Ia takut kalau ketidakterampilannya ini menjadi penghalang dalam mengerjakan soal. Namun, untungnya ini adalah olimpiade matematika, sedikit banyak Daisy dapat menebak maksud dari tiap butir soal yang diujikan walaupun tetap ia masih tidak sepercaya diri ketika soalnya menggunakan bahasa Indonesia."Fifteen minutes more." Suara pengawas dari pelantang itu membuatnya membaca dan menghitung ulang setiap jawabannya
Nomor-nomor yang ia lingkari secara khusus, Daisy koreksi kembali sampai ia yakin sepenuhnya. Sedang nomor yang ia tandai silang adalah nomor yang tidak ia jawab karena benar-benar meragukan jawabannya. Di dalam olimpiade, tiap penyelenggara mempunya ketentuan masing-masing. Pada saat ini, jawaban yang salah akan diberi poin minus, tutornya sendiri berkata bahwa daripada poinnya berkurang banyak, lebih baik tidak di jawab sama-sekali.
Dering bel tanda waktu selesainya pengerjaan membuatnya sedikit terkejut "Time is up, you all may to leave this room now." selepas membereskan alat tulisnya, ia beranjak melalui belasan anak yang terdiri dari berbagai negara itu.
Ia menghela napas dan kemudian menemui tutornya dengan sedikit tidak bersemangat. Daisy sendiri tidak merasa yakin kalau namanya akan masuk ke dalam babak final mengingat dua pesaingnya yang berasal sekolah khusus laki-laki dari negeri matahari terbit itu mempunyai rekam jejak tanpa cela dan lebih berpengalaman dalam kompetisi internasional daripada dirinya.
"Saya nggak berharap terlalu banyak karena tadi saya lihat ada perwakilan dari Todaiji Gakuen..." mendengar hal itu dari tutornya sendiri membuat Daisy semakin tertunduk lemas "Eh! Maksudnya jadiin ini sebagai pengalaman saja, nggak perlu merasa terbebani apalagi ini kan olimpiade tingkat internasional pertamamu. Nggak perlu dijadikan beban!" imbuhnya dengan cepat.
Di dalam hati ia menggerutu 'masalahnya kalau nggak bawa pulang pialanya, gue bakalan dikeluarin dari sekolah!'
Daisy kemudian beranjak mengelilingi area sekolah yang dijadikan olimpiade itu. Lahannya mungkin dua kali lebih luas ketimbang sekolahnya, dan untuk desain bangunannya sepertinya hampir sama, arsitekturnya minimalis dan hampir tidak ada yang mencolok selain prestasi murid-muridnya dan keunggulannya baik di bidang akademik maupun non-akademik.
Ia hanya bisa berharap kalau namanya tercantum di peringkat sepuluh besar karena masa depannya di mulai dari sini. Olimpiade kali ini adalah titik balik di dalam hidupnya, hal inilah yang akan menentukan dua puluh atau bahkan tiga puluh tahun hidupnya di masa depan.
Ia mengepalkan tangannya seraya menatap langit yang birunya tidak terhalang awan apaoun hari ini, "Aku jarang berdoa kepada-Mu tetapi, hari ini adalah penentu bagi masa depanku dan Jasmine. Tolong, jadikan hari ini adalah hari yang baik untukku..." ia mengakhiri doanya dengan putus asa dan memikirkan segala kemungkinan-kemungkinan terburuknya
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Get: A+
Fanfiction"Apaan banget deh! Annoying!" dengusnya tak suka tatkala mendengar orang yang menempati ranking satu bukanlah dirinya lagi, melainkan anak pindahan super menyebalkan yang sayangnya mempunyai lesung pipi manis seperti idolanya. "Kesal sama gue, Dais...