Daisy tidak tahu apa yang membuat ayahnya kembali menjadi seperti dahulu dalam waktu semalam. Ia masih sangat bingung dan terkejut namun, tidak bisa menyangkal bahwa ia sangat bahagia menyambut sosok ayahnya yang penuh kasih seperti sedia kala.
Jasmine sedari tadi tidak mau melepaskan diri dari ayahnya. Saat ini ia kembali terlelap, menyambung tidurnya di akhir pekan.
"Daisy, sini nak..." panggil ayahnya selepas dirinya mencuci piring-pirung kotor yang mereka gunakan tadi "Ayah pengen ngobrol sama putri sulung kebanggaan ayah ini..." imbuhnya seraya menepuk nepuk lantai yang kini beralaskan dengan tikar karena Jasmine bersikukuh ingin tidur di ruang depan rumahnya ini.
"Nak, apa kamu mau berbesar hati memaafkan kesalahan selama ini? Selama lima tahun ini, kamu mengurus Jasmine dan ayah. Kamu bahkan menggantikan peran ayah serta ibu untuk Jasmine, membuatnya tumbuh menjadi anak yang secerdas ini..." Daisy dapat melihat seberkas air mata yang dengan cepat di usap oleh ayahnya itu.
"Ayah bahkan mungkin nggak pantas di panggil ayah karena selama ini ayah nggak pernah sekalipun hadir sebagai figur seorang ayah pada umumnya. Kamu benar, Daisy. Yang seharusnya paling terluka dan terpukul atas kepergian ibumu itu, kamu. Bukan ayah... selama ini ayah terlalu larut dalam kesedihan sampai lupa kalau ayah mempunyai tanggung jawab untuk menjaga kamu dan adikmu.
Bahkan ayah rasa, nggak pantas ayah meminta permohonan maaf karena kesalahan ayah sangat fatal, Daisy. Selamanya, ayah akan berhutang sama kamu..." ucapnya.
Daisy menggelengkan kepalanya, "Ayah nggak berhutang apapun sama aku. Aku sadar tiap orang punya cara tersendiri untuk menghadapi sebuah kehilangan walaupun memang, absennya ayah di dalam kehidupan kami mungkin suatu hal yang akan membekas selamanya. Tapi, yah... aku nggak pernah benci ayah. Selama ini aku berharap kalau ayah bakalan kembali seperti dulu dan rupanya, Tuhan baru mengabulkan doaku sekarang..." jawabnya dengan tersenyum.
Telapak tangannya yang kasar karena pekerjaannya sebagai kuli itu kini mengusap-usap kepala milik Daisy, "Bunga kecil milik ayah ternyata sudah mekar dengan cantik selama ini. Maafkan kebutaan ayah, nak..." air mata pria itu kemudian mengalir dengan deras sementara Daisy kembali memeluk ayahnya.
Suara ketukan pintu yang saat ini terdengar, mau tidak mau membuat Daisy serta ayahnya mengakhiri suasana haru biru pada pagi itu.
Daisy lantas membuka pintu rumahnya dan terkejut tatkala mendapati Bumi yang saat ini menampilkan cengiran ke arahnya.
"Bumi?! Lo ngapain di sini?!" serunya dengan kaget.
"Lah, kan gue semalem udah bilang kalau gue ngajakin lo sama Jasmine piknik hari ini. Lo bilang 'iya' kok! Sumpah!" jawabnya, berusaha untuk membela diri.
"Daisy? Siapa itu, nak?" tanya ayahnya.
Suara serak milik ayahnya berhasil membuat atensi Bumi beralih ke sumber suara tersebut dan dengan sigap menegakkan badannya lalu membungkukkan punggungnya serta mengucapkan salam.
"Itu- eh, temen sekolah, yah..." jawab Daisy dengan kikuk.
"Kok nggak di suruh masuk? Suruh masuk, Daisy. Ayah bakalan gendong Jasmine ke kamarnya..."
Sontak hal itu membuat Bumi terkejut dan tergopoh-gopoh membantu ayahnya. Jasmine sudah cukup besar, mungkin ayahnya tidak lagi kuat untuk menggendongnya seperti dulu.
"Ah, kamu main saja sama Daisy. Saya mah biasa manggul karung pasir..." ternyata dari balik tubuh kurus milik ayahnya, tersimpan tenaga yang besar. Memang Daisy tidak seharusnya meragukan kemampuan dari seorang pekerja fisik seperti ayahnya itu.
Selepas menggendong Jasmine masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya, ayahnya kembali keluar menuju dapur dan kembali dengan dua gelas teh hangat di tangannya.
"Eh, nggak perlu repot-repot om!" tukas Bumi dengan salah tingkah "Ini om, silahkan" ucapnya sembari menyodorkan satu keranjang anyaman yang mungkin berisikan bekal piknik mereka kalau saja Daisy tidak lupa.
"Waduh, sepertinya kalian mau piknik ya? Tapi, Daisy kok belum mandi?" tanya ayahnya dengan jahil "Kamu lupa ada janji dengan temanmu? Sana, cepat mandi!"
"Nggak perlu om! Sepertinya saya pulang saja, saya lupa ada PR yang belum selesai dikerjakan" jawabnya dengan senyuman.
Daisy ikut tersenyum tatkala Bumi ternyata paham bahwa ia ingin menghabiskan waktu dengan ayahnya kali ini.
"Kamu- kayaknya saya sering lihat kamu menjemput dan mengantarkan pulang anak-anak saya..."
Seketika Bumi membisu, bingung hendak menjawab dengan apa sebelum akhirnya rengekan milik Jasmine mengalihkan perhatian ayahnya.
"Ih, ayaaahh! Kok aku di pindah ke kasur, sih?! Eh- kak Bumi?" rengekannya berubah menjadi keterkejutan ketika mendapati Bumi ada di sana.
"Jasmine, orang ini yang sering jemput kamu sama kakakmu, kan?" tanya ayah.
Jasmine mengangguk dengan santai, "Hu um, kak Bumi baik banget! Sering beliin aku es krim!" jawabnya dengan bersemangat "Ah, ayah nggak tau ya kalau kak Bumi itu pacarnya kakak?!"
"Eh?!" suara nyaring milik Bumi dan Daisy sontak memenuhi ruangan itu "Nggak, yah! Aku nggak pacaran, serius!" ucap Daisy menyangkal.
"Siapa tadi namamu?"
Bumi menegakkan punggungnya "Nama saya Ranu Bumi Mandala, bisa di panggil Bumi. Saya teman sekelasnya Daisy yang memang biasanya menjemput Daisy sama Jasmine. Saya punya SIM, jadi om nggak perlu khawatir kalau semisal tiba-tiba ada razia dan kena tilang. Terus,... saya bingung om... Tapi saya memang bukan, maksud saya belum jadi pacarnya Daisy sekarang." jawabnya dengan panjang lebar.
"Pacaran beneran juga nggak apa-apa, namanya juga anak muda. Ya, kan? Nggak usah tegang gitu, rileks aja..." tukas ayahnya dengan senyuman lebar "Kalian beneran nggak jadi piknik? Ayah izinin, kok"
"Nggak, ayah..." jawab Daisy.
"Loh, siapa tahu temanmu ini masih pengen piknik. Coba ditanyain dulu." titah ayahnya yang membuat Daisy memutar bola matanya dengan malas.
"Lo masih kepingin piknik?"
"Nggak sih, kapan-kapan aja kan bisa..." jawab Bumi dengan cengiran. "Saya pamit dulu, om." ucapnya dengan senyuman lebar seraya bersalaman dengan pria itu.
"Jangan ngebut kalau bawa kendaraan, bahaya... Daisy, antar temanmu ke depan sana." ucap ayahnya.
"Siap om! Spedometer saya nggak bakalan di atas 40KM!" jawabnya dengan bersemangat
"Bagus, bagus... nanti kapan-kapan kita main catur."
"Eh?"
"Loh, kenapa? Nggak bisa?" tanya pria itu.
Bumi menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat, "E-enggak om! Saya bisa kok main catur!"
Daisy tak bisa menahan tawanya melihat interaksi aneh kedua orang itu. Sikap jahil milik ayahnya, serta kecanggungan Bumi yang jarang ia lihat itu membuatnya terkikik geli.
Sekembalinya Bumi, Daisy dan Jasmine kembali menyelami alam mimpi bertemankan dengan elusan tangan kasar milik ayahnya.
Sungguh, hari yang sempurna.
G'Note:
Hai! Selamat merayakan idul fitri semuanya🦋
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Get: A+
Fanfic"Apaan banget deh! Annoying!" dengusnya tak suka tatkala mendengar orang yang menempati ranking satu bukanlah dirinya lagi, melainkan anak pindahan super menyebalkan yang sayangnya mempunyai lesung pipi manis seperti idolanya. "Kesal sama gue, Dais...