33. letting go

71 7 3
                                    

"Lo, yakin?" tanya Bumi dengan ragu "I mean, you can-"

"100% sure. There will be another chance, I'll be okay." tukasnya dengan yakin selepas ia memberitahukan rencananya untuk mengambil gap year selama dua tahun "Lo malu ya punya pacar tapi dia nggak kuliah?" tanyanya dengan nada lirih.

"Hah? Apaan banget dah? Nggak lah! Ngapain gue malu punya pacar pinter?"

Jawaban dari lelaki itu sedikit banyak membuat perasaan ragunya menghilang, walaupun masih ada banyak rasa gelisah yang tidak bisa ia sampaikan kepada siapapun, termasuk Bumi, tetapi setidaknya kehadiran kekasihnya itu membuatnya merasa nyaman.

●●●•●●●•●●●

Selama enam bulan terakhir, Daisy mengisi waktu luangnya dengan membuka jasa les privat kepada siapapun, termasuk kepada adik-adik kelasnya. Selain menjadi tutor di jam tambahan pada sekolahnya dahulu, ia masih tetap bekerja paruh waktu di kafe milik Cakra. Berulang kali ia mengingatkan Bumi supaya tidak menungguinya seharian bekerja tetapi lelaki itu tetap berpegang teguh pada pendiriannya.

Sebagai hasilnya, koleksi buku pada pojok baca kafe itu semakin bertambah karena lelaki itu pasti akan bosan setengah mati bila berulang kali membaca buku yang sama.

Mata kecokelatan milik Bumi tampak serius menekuri lembaran-lembaran kertas di hadapannya. Itu adalah lembaran berkas pendaftaran ulang pada kampusnya. Daisy menghela napas seraya membantu kekasihnya untuk merapikan dan memberikan tanda checklist pada berkas yang sudah ia persiapkan dan tanda silang pada berkas yang belum juga ia siapkan.

"Bener nih? Nggak ada yang kurang? Formulir pendaftaran? Indentitas diri? Surat tanda kelulusan?" Bumi mengangguk yakin "Fotokopian KTP?" ada jeda sebelum Bumi menjawab pertanyaan itu.

"Ah, iya! Gue lupa! Lagian zaman udah canggih, masih aja KTP di fotokopi..."

"Namanya juga Indonesia, judulnya doang E-KTP, ujung-ujungnya masih perlu di fotokopi..." dengusnya "Nanti gue temenin fotokopi. Udah nggak ada lagi ya berkas yang ketinggalan?"

Mendapat anggukan yakin dari Bumi, Daisy membantu kekasihnya untuk menumpuk dan memasukkan berkas-berkas tadi ke dalam map yang sudah Bumi persiapkan sebelumnya.

Selepas singgah pada tempat fotokopi, kedua orang itu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke sebuah kampus yang sudah pernah Bumi kunjungi untuk mengambil formulir pendaftaran sekaligus mensurvei lingkungan universitasnya.

Ada deretan pohon yang berjejer dengan rapi di sepanjang pedestrian kampus itu. Daisy memutuskan untuk menunggu pada kursi taman baca yang berada tak jauh dari tempat pendaftaran camaba yang jaraknya kurang dari dua ratus meter. Netra cokelatnya mengamati kawasan kampus kekasihnya itu. Gedung-gedung tinggi dengan sedikit sentuhan ornamen kebudayaan Indonesia itu menambah kesan mahal yang tersirat.

Rasanya begitu aneh.

Dari segala hal yang pernah terjadi di kehidupannya, tak pernah ia merasa seasing ini. Ia merasa bahwa Bumi tak seharusnya berkencan dengan dirinya. Kalaupun dirinya cerdas seperti apa yang selalu Bumi katakan, lalu apalagi kelebihannya?

Sifatnya tidak menyenangkan, keluarganya carut marut, dan ia pun tidak begitu rupawan.

Lamunannya terputus oleh tepukan yang ia rasakan di bahunya. Terlihat seorang lelaki dengan kemeja biru laut yang menyapanya dengan riang. Tangannya menenteng satu tas besar berlogo kampus itu yang ia yakini sebagai almamater dan berbagai macam perintilan maba lainnya.

How To Get: A+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang