9. Race

51 12 1
                                    

BRAK! Suara kepalan tangan yang beradu dengan meja itu memekakkan telinga. Bahkan membuat pengikutnya pun sedikit tersentak kaget.

"Lo udah miskin, jangan belagu ya." ancamnya sembari menunjuk dirinya dengan angkuh. "Gue bisa bikin nama lo nggak bakalan di terima di sekolah manapun, ini belom selesai."

Ia tidak ciut sedikitpun. Ia memang tidak mempunyai harta maupun koneksi yang akan melindunginya. Daisy tidak mempunyai apapun untuk dipertaruhkan, lantas mengapa ia harus takut?

"Seharusnya lo yang malu di sini. Gue bisa sebar video itu kapanpun tetapi, gue milih buat maafin lo karena ingin balas budi. Gue tahu lo bisa sewa pengacara mahal buat nutupin kasus itu tetapi, gue juga bisa bikin nama bokap lo itu tercoreng di mata publik gara-gara kelakuan bejat lo ini.

Satu hal lagi. Kalau lo pikir gue bakalan hancur gara-gara putus sekolah, lo salah besar. I am more than that." ucapnya dengan tegas. "It's do or die I guess... enjoy the show, my majesty." lanjutnya sembari memperlihatkan layar ponselnya, menampilkan rekaman pada hari itu yang sudah terunggah di laman resmi milik sekolah.

Daisy langsung beranjak pergi menuju kelasnya, mengemasi tas dan buku-buku yang ada di loker sekolah yang mungkin sebentar lagi berganti nama menjadi mantan sekolah selepas ia menandatangani surat itu.

"Bumi, hubungi gue kalau semisal motornya udah diperbaiki. Gue hari ini di depak dari sekolah. Terimakasih buat semuanya..." ujarnya sembari tersenyum tulus.

Ia menahan pergelangan tangan gadis itu, "Sekali. Biarin gue jadi sahabat lo buat hari ini."

Mobil lelaki itu membelah jalanan ibukota yang langinya sudah menjingga. Daisy menikmati semilir angin yang menerpa rambutnya tatkala lelaki itu mengajaknya ke sebuah rooftop di pusat perbelanjaan dengan segelas kopi dan kudapan manis yang ada di tangan.

Mata jelaganya mengamati gedung-gedung tinggi dan jalan raya yang masih terlihat padat dari atas. Ia menghela nafas dan memejamkan matanya. Sekilas, bayangan keluarganya terlintas. Wajah ayah, adik, dan ibunya bercamour menjadi satu. Menjadi lulusan SMP di kota sebesar ini bukanlah perkara yang mudah tetapi, ia bisa pastikan bagaimanapun caranya, ia dapat melaluinya.

"Banyak yang sayang sama lo, Daisy. Video yang lo unggah tadi udah di hapus oleh pihak sekolah tetapi, murid-murid lain sepertinya sempat nyimpen video itu terus di unggah ulang berkali-kali. Banyak yang nyemangatin lo terus ngumpatin si bekantan itu" Daisy tersenyum geli saat mendengar julukan yang Bumi berikan kepada lelaki itu. "Lo beneran keluar dari sekolah?" tanya lelaki itu dengan berhati-hati.

"Iya... kayaknya donatur lain juga nggak mau biayain gue lagi. Gue nggak mungkin bisa bayar uang sekolah sebesar itu kalau masih maksa buat nerusin di sana." jawabnya sembari tersenyum kecil melihat pemandangan dari atap. "Kakak lo masih ngijinin gue buat kerja di sana kan? Gue masih butuh kerjaan itu buat biayain Jasmine."

"Lo- nggak apa-apa?"

Untuk yang pertama kalinya, setelah sekian tahun berjuang sendirian ia di tanya seperti itu. Dari balik topeng wanita kuat dan tegar yang ia pakai setiap hari sebenarnya hanya ada gadis kecil yang meraung menginginkan sebuah pelukan hangat. Oleh karenanya, tanpa satu patah kata, ia merangkul bahu milik lelaki itu. Berjinjit dan menenggelamkan mukanya di perpotongan leher yang beraroma seperti pastry, hangat sekaligus menentramkan.

Dua orang manusia yang sedang larut di dalam pikirannya masing-masing itu mencurahkan semua kata-kata yang tidak bisa mereka ucapkan. Daisy dengan air matanya dan Bumi dengan elusan tangannya pada rambut legam milik gadis itu.

"Lo nggak harus jadi kuat di depan gue, Daisy..." bisiknya.

Bersama tenggelamnya mentari, Daisy ikut melagukan elegi bersama Bumi.

●●●●●

Tiga hari Daisy habiskan dengan membaca buku dan mengajari adiknya perkara materi yang belum ia pahami. Jasmine sendiri tidak mengerti mengapa seragam sekolah kebanggaan kakaknya itu masih tetap tergantung pada kenop lemari selama tiga hari terakhir.

Mata bulatnya yang jernih itu menatap perempuan yang sedang mengajarkannya matematika saat ini, merasa adiknya tidak berkonsentrasi, Daisy menepuk-nepuk buku yang ada di hadapannya sembari mengulangi pertanyaannya.

"Fokus, Jasmine. Ini kan udah kakak ajarin kemarin! Ayo dikalikan dulu, pembilang sama pembilang." ucapnya yang membuat adiknya berjengit dan dengan terburu menyelesaikannya "Loh loh loh, itu kamu dapat angka darimana? Beli di pasar? Jangan ngaco, ayo hitung lagi yang bener!"

Jasmine mengerut diatas kursinya, kakak perempuannya itu orang yang sabar tetapi, kalau sudah mengajarinya begini, ia berubah menjadi sangat garang. Tak jarang Jasmine terpaksa menelan air matanya karena menangis di tengah-tengah pembelajaran.

"Nah gitu dong! Terus diapain?" tanyanya

"D-di kali?" Daisy mendengus mendengar jawaban adiknya "Aku lupa kak..."

"Di po-...?"

"Dip-diponegoro?" cicitnya bingung.

Daisy menghentakkan pensil yang ia pegang di atas meja "Sejak kapan matematika nyambung jadi pelajaran sejarah? Di porogapit! Aduh, lama-lama kakak bisa darah tinggi ngajarin kamu... inget, jangan main-main lagi! Kamu udah kelas enam, sebentar lagi mau ujian nasional loh! Kakak nggak bisa nyekolahin kalau kamu nggak diterima di sekolah negeri. Kakak tahu kok kamu pinter, yang serius ya belajarnya?" Jasmine mengangguk dengan lesu lalu melanjutkan hitungannya di atas kertas.

Sedangkan Daisy merenung jauh menimbang segala kemungkinan yang akan ia hadapi dengan ijazah SMP nya di luar sana. Haruskah ia mencoba membuka kursus matematika untuk menambah penghasilan? Ia cukup bagus dalam hal itu. Lalu, bagaimana dengan adiknya? Apakah ia tidak akan malu dengan kakaknya sendiri? Rencana yang sudah ia rancang sedari dulu akan dikemanakan selepas ini?

Ia mengakui egonya terlalu tinggi untuk seseorang yang tidak memiliki apapun untuk dijadikan tameng di tengah-tengah lingkungan orang yang memiliki kuasa. Namun, salahlah tindakannya hari ini? Atau moral mereka yang salah karena menghukum seorang korban alih-alih si pelaku? Atau Daisy belum juga mengerti bagaimana cara dunia ini bekerja? Semuanya berputar-putar dikepalanya saat ini.

Daisy hela nafasnya lalu meletakkan pensil yang sedari tadi ia remat dan membuka ponselnya yang dua hari terakhir tidak ia buka. Percuma.

Ada ratusan pesan yang masuk di grup kelasnya, dan juga belasan pesan tak terbaca dari lelaki itu. Ia menghela nafas sekali lagi. Satu pesan terakhir yang Bumi kirimkan membuat perhatiannya teralih.

Bumi 11-A
Sekolah masih butuh lo, donatur masih ada yang mau biayain lo. Semua anak club olimpiade tadi di tes buat gantiin posisi lo di Singapore nanti tapi, masih belom ada yang memenuhi syarat penilaian mereka, Day.

Besok sore bu Erika bakal dateng ke rumah lo, siap-siap.

Mau ngapain bu Erika dateng ke rumah gue?

Mau main latto-lato bareng Jasmine...

Ya mau bahas soal beasiswa lah, cakeepp! Oh iya! Motor lo udah beres nih, gue anter besok sekalian bareng bu Erika

Nggak menerima penolakan, selamat malam :)

Itulah pesan terakhir yang Bumi kirimkan, selepas itu ia tidak membalas lagi meskipun Daisy sudah mencoba untuk meneleponnya satu kali. Bibirnya berdecak kesal namun, sedikit senang karena mengetahui mungkin ia masih diberikan kesempatan sekali lagi untuk menyelesaikan studinya.

How To Get: A+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang