Aku benar-benar tidak suka pada apa pun yang kualami pagi ini. Bangun tidur tanpa ucapan selamat pagi, tanpa pelukan hangat dan aroma makanan makanan yang wangi. Aku terpaksa melihat sapaan dari para pengawal dan pelayan yang sibuk memenuhi dapur dan ruang makan untuk menggantikan keberadaan Appa. Tidak ada Appa di kursi utama, juga tidak ada kakakku yang sibuk mengoles selai ke roti untukku.
"Silakan, Tuan Muda." Bibi Jang mengulurkan segelas susu putih hangat padaku. "Ingin makan roti dulu?"
"Terserah," jawabku lalu meneguk susu sampai tersisa separuh. "Aku tidak nafsu makan, jadi hidangkan apa saja."
"Baik," kata Bibi Jang patuh. Biasanya bibi masih mengajakku bercanda atau sekadar mengobrol, tetapi sepertinya beliau tahu aku sedang dalam suasana hati buruk sehingga memilih diam. "Oh, selamat pagi, Tuan Muda."
"Pagi, Bi." Jaehyun Hyung menyampirkan jas hitamnya ke sandaran sofa. Tatapannya tertuju padaku. "Kenapa cemberut begitu?" tanyanya.
"Jangan peduli padaku!" kataku malas sambil mengupas pisang. Seolah memahami suasana hatiku juga, Jaehyun Hyung ikut diam. Di seberang meja, kakakku terlihat cukup gelisah. Aku bisa menebak dengan mudah apa yang ia pikirkan. Pasti alasan yang sama seperti Appa meninggalkanku sebelum bangun tidur. Tanpa sadar, aku membanting pisau sebelum kugunakan untuk mengiris roti. "Pergilah!" usirku.
"Huh?"
Aku menatap kakakku malas. "Kau pergilah menyusul Appa. Aku muak melihatmu terpaksa menemaniku sarapan di sini!" kataku.
"Aku tidak mengerti." Jaehyun Hyung masih berpura-pura santai di saat gerakannya terlalu gelisah dan bingung.
"Tubuhmu di sini tapi pikiranmu di rumah sakit!" bentakku. Tanpa sadar, napasku berantakan dan kedua mataku sudah memanas. "Kau tidak harus di sini untuk menemaniku. Pergilah." Kuambil roti berselai dan langsung melahapnya tanpa kuiris lebih dulu.
Jaehyun Hyung masih diam menatapku. Dia seperti orang bingung hendak tetap di sini atau segera berlari pergi.
"Abaikan saja aku. Bukankah itu yang kalian lakukan sejak wanita itu masuk rumah sakit?" sinisku. Setelah menelan satu lembar roti, kuambil roti lagi dan memakannya tanpa selai. "Pergi! Kau tidak tahu kapan dia akan mati. Jadi, pergilah selagi kau masih bisa menemuinya."
"Ling Sehun!" tegur Jaehyun Hyung seolah aku mengatakan sesuatu yang menyinggung perasaannya. "Kau tidak boleh berkata seperti itu terhadap ibumu!"
"Ibu?" Aku mendengkus sambil melempar roti yang batal kumakan. "Ibu macam apa yang tidak pernah menginginkanku? Ibu macam apa yang menelantarkanku? Ibu macam apa yang pandai merebut ayah dan kakakku saat dia sudah sekarat seperti ini? Huh?"
"Jaga ucapanmu!" bentak kakakku dengan mata melotot lebar. "Apa Appa pernah mengajarimu berkata tidak sopan seperti itu?"
"Memangnya aku salah?" Aku ikut membentak. Mengapa semua orang jadi membela wanita itu? Napasku makin berantakan dan kubiarkan air mata luruh untuk memberitahu bahwa perasaanku terluka. "Dia selama ini gila perhatian dunia dengan meninggalkan kita. Lalu, saat dia sakit atas ulahnya sendiri, dia mengemis perhatian kita? Drama apa yang sedang ia mainkan?"
"Ling Shixun, kau—"
"Pergi!" teriakku sambil membanting gelas ke meja tanpa melepas tangan. Kurasakan pecahan gelas menancap di telapak tangan yang mulai berdarah sampai Bibi Jang dan beberapa pelayan menjerit. "Bilang pada Appa bahwa sampai mati pun, aku tidak sudi menemuinya."
Setelah mengucapkan kebencian yang teramat dalam, aku beranjak dari ruang makan untuk masuk ke kamar. Darah mengucur makin banyak hingga membentuk lintasan di lantai. Perihnya tiada ampun, tetapi rasa sakit di telapak tangan tidak separah luka yang dirasakan hatiku. Aku benar-benar merasa hancur diabaikan oleh ayah dan kakakku sendiri yang lebih memilih Choi Jiwoo dibanding aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
On Me [OSH] | TAMAT
FanfictionSeseorang menjebak Ling Sehun dengan kasus kepemilikan ganja. Atas kesalahan itu, Sehun mendapat hukuman dari ayahnya untuk melakukan pekerjaan sosial dan menyelesaikan seratus misi kebaikan dalam satu tahun. Si bungsu manja yang tidak bisa apa-apa...